Wanita memiliki banyak cara dalam
mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Menangis, menggerutu, mencela,
mengejek, membentak, dan diam adalah beberapa bentuk cara yang sering wanita
pilih sebagai media pelampiasan perasaan. Sebagai wanita, aku lebih memilih
menuliskan apa yang aku rasakan. Sedih, kecewa, terluka, bahagia, bingung,
putus asa, aku lampiaskan semuanya dalam bentuk huruf dan menyimpannya
rapat-rapat didalam mesin penyimpanku, kadang tidak jarang benda itu menjadi over load
karnanya. Kenapa aku suka media ini (menulis)
sebagai pelampiasan? Dengan menulis, aku bebas ingin menulis apa saja
yang
ingin aku tulis. Aku bebas menulis menggunakan gaya bahasa dengan jenis
apa saja.. Lalu dimana biasanya aku menulis? Seperempat dari tulisan
singkatku, aku posting di microblogging, sedangkan
yang lainnya aku posting di-blog pribadi. Sisanya, aku simpan suatu tempat.
“kemahiran dalam menulis tidak
didapat sejak lahir, tapi harus selalu diasah serta dilatih”
Banyak orang tidak suka menulis,
bukan karna mereka tidak pandai, tapi lebih kepada mereka tidak ingin gagal dan
tidak suka mencoba. Sebagai pemula, dulu tulisanku dianggap tidak berbobot.
Tulisanku terlalu “pasaran” dan gaya bahasanyapun tidak begitu “wah”. Ini
adalah kritikan yang dengan jujur aku katakan, mematikan rasa ingin menulisku.
Yang mengkritikku bukanlah seorang penulis handal, bahkan menjadi seorang
penulis amatir pun, dia belum lolos. Lalu kenapa aku harus patuh dan tunduk
pada kritikannya yang dianggap keras itu? Aku menulis, bukan untuk menyaingi
seseorang, atau kekurang-kurangnya ingin menyurupai seseorang. Bukan, bukan itu
tujuanku. Aku ingin menjadi diriku sendiri dalam setiap kata yang aku rakit
selama berhari-hari. Aku ingin menjadi sesuatu yang berbeda, bukan seperti dia,
kalian, atau mereka apalagi kau. Karna dengan menulis, aku merasakan ada
sesuatu yang bisa aku alirkan. Dalam tulisanku, aku akui, bahasanya cendrung
keras, langsung dan mungkin, kasar. Kadang aku sadar, beberapa dari tulisan
yang pernah aku posting, kemungkinan menyinggung seseorang, atau bahkan
menyakitinya. Tapi lagi-lagi, aku tidak ingin berbohong, serta perpura-pura
“ramah” kepada para pembacaku. Karna aku tau bahwa media sosial atau blog
adalah tempat yang paling aman untuk menjadi orang lain, atau mungkin tempat
yang paling cocok untuk memakai topeng aku tak berniat untuk mencoba.
Aku memiliki aturan dalam menulis. Ini
sangat lentur, kadang bisa menjadi sangat baku, namun dikeadaan genting, aturan
ini bisa saja mencair. Jadi, ini adalah aturan yang bisa disesuaikan. Misalnya,
ketika aku marah kepada seseorang, dan aku memakinya dalam tulisanku, aku
mengetik ratusan kata bersama tuts laptopku, tapi aku tidak boleh memposting
amarahku ditempat umum. Maksudku, tidak ada yang berhak membacanya. Begitu juga
ketika aku sedang mengagumi seseorang, aku boleh saja ber-puisi, atau
bermesra-mesraan dengan huruf-huruf itu, tapi lagi-lagi, aku tak boleh
mempostingnya. Itu memalukan. Hehehehe…. J
Aku tidak pernah berfikir akan
menjadi begitu senang dengan kegiatan
ini. Aku rela menghabiskan waktu luangku untuk menulis. Bahkan, kadang-kadang
aku sampai kehabisan ide dan permasalahan yang ingin kubahas. Satu hal yang aku
herankan dari inspirasiku adalah, kenapa mereka sering datang disaat aku tidak
sedang memegang alat tulis dan kertas? Bahkan, yang lebih dramatisnya,
inspirasi sering datang ketika aku berada dikamar mandi. Onde mandeee…
“ini adalah beberapa benda yang paling sering aku pakai untuk menulis
inspirasi yang sering datang mendadak. Ada buku harian, yang aku gunakan disaat
inspirasi datang dimalam hari. Ada Binder dan pena, ini digunakan menulis
inspirasi yang datang disaat dosen sedang menerangkan pelajaran. Ada juga
handphone, yang dipakai disaat inspirasi datang sewaktu tengah berhenti dilampu
lalu lintas. Heheheh….”
“menjadi penulis tidak akan membuatmu sejahtera, uangnya sedikit. Dan
peluang menjadi penulis ternama pun rasanya sulit”
Itulah pandangan buruk yang aku
pakai untuk mematikan kretifitas. Menulis kini menjadi kesenangan. Kesenangan
yang ingin aku bagi dengan orang lain. Sewaktu aku masih sekolah, seorang guru
bahasa Indonesia tidak percaya bahwa puisi yang sedang beliau baca adalah
karanganku. Ia bertanya berkali-kali dan membaca berulang ulang puisi bertema nasionalisme itu. Ah, ternyata ada
harapan diremehkan sepertinya. Tidak hanya guruku, teman-teman dan siapa saja
yang baru membaca tulisanku sampai detik ini masih tidak yakin dengan apa yang
aku tulis. Aku tak tau alasannya, aku pun tak ingin mengetahuinya. aku ingin
terus menulis dan memperbaiki tulisanku. Tak penting menjadi terkenal dengan
banyak orang yang membaca tulisanku, yang terpenting aku memperoleh banyak
manfaat dari menulis.
“sekali seorang anak suka dengan
menulis, maka tulisannya akan melejit”
Semester lima ini aku mempelajari Paper Thesis Writing dengan dosen
pembimbing Sandi Sukandi, M.A. PTW adalah mata kuliah menulis, persiapan
menulis untuk thesis dan paper, kurang lebih begitu. Sayangnya, mata kuliah ini
tidak bisa aku selesaikan dengan sempurna. Aku hanya bisa bertahan sampai
pertemuan ke-sepuluh, sisanya, “selamat tinggal”. Sejak mengenal PTW aku jadi
semakin tertarik dengan menulis. Aku yang terbiasa menulis dengan bahasa
Indonesia, murni bahasa Indonesia, kini harus berganti haluan menjadi bahasa
inggris. Perbedaan bahasa bukan bukan perkara, yang penting kita paham dengan
apa itu tesis dan paper berserta aturan mainnya.
Menulis paper dan thesis is complicated but I’m excited. PTW dan
semua hal yang berhubungan dengannya adalah hal yang unik dan menarik. Ini
adalah kali pertama aku menulis yang berbau ilmiah dan akademik, tentu ini
menyenangkan. Aku dan rekan-rekanku pun diajar oleh dosen pembimbing yang
menyenangkan berdasarkan pendapat teman temanku. Tapi selama matakuliah PTW berjalan aku
lebih sering keluar kelas dan menghabiskan banyak waktuku untuk duduk diluar
ruangan. Kuliah menulis kadang cukup membosankan, maka dari itu aku tidak betah
berlama-lama duduk didalam kelas disatu ruangan dengan durasi dua jam. Dari sinilah masalah
sering datang (oke, sebaiknya tidak perlu dibahas. Heheheh…)
Ya, kini pengetahuanku tentang
menulis baik versi formal ataupun non-formal mulai bertambah. Terima kasihku
kepada guru dan dosen-dosenku yang pernah mengajarkan teori menulis selama ini.
Terima kasih Ibu Elsi Yurnalita, S.Pd, Ibu Widya, S.Pd, Bapak Ramadhansyah,
M.Pd, Miss. Rini Dwitya Sani, M.M.Pd, Mr. Jufri, M.Pd, Miss. Elmiati, M.Pd, dan
yang terakhir kepada Mr. Sandi Sukandi, M.A.
“Ini adalah mesin ketik “canggih” yang selalu aku gunakan. Dia begitu
setia, tidak pernah mengeluh, tabah dan penurut. Dia mau menuliskan apa saja
yang ingin aku ketikkan. Sudah hampir lima tahun kami bersama, menghabiskan
waktu berdua ditempat biasa. Terima kasihku untukmu *alay”
0 komentar:
Posting Komentar