Delapan tahun yang lalu, tahun 2007, saya
meninggalkan kota Padang dan menetap di Jogjakarta demi melanjutkan pendidikan.
Adik papa, meminta saya untuk mengambil jurusan tata busana, agar ada penerus
Om, yang berprofesi sebagai perancang busana muslim wanita. Tapi saya
menolaknya dengan alasan, saya tidak punya bakat yang dibidang itu. Apa jadinya
saya menekuni satu bidang yang tidak saya sukai? Pasti tidak akan pernah
berhasil, saya rasa. Saya memilih Administrasi perkantoran sebagai
pilihan akhir. Memenuhi semua hal-hal yang dibutuhkan, mulai dari legalisir
ijazah, surat keterangan pindah dari dinas, surat kesehatan, sampai pada surat
bebas narkoba. Siswa baru yang datang dari luar daerah, terlebih dari luar
pulau, diharuskan menyerahkan surat bebas narkoba dengan alasan banyaknya
remaja saat ini yang sudah menjadi pemakai dan pengedar diusia sekolah. Oke,
untuk yang satu ini saya tidak bisa memenuhinya, semua karna waktu yang
diberikan terlalu sempit. Saya tidak tau dimana rumah sakit yang ada disana, sedangkan
dua hari lagi hari pertama sekolah akan dimulai. Waktu dua hari itupun dirasa
tidak cukup, karna banyak yang haruas diurus. Ada seragam sekolah dari yayasan
yang belum sempat dijahit, buku tulis dan alat-alat tulis yang belum sempat
dibeli, dan perlengkapan MOS lainnya. Segalanya memang serba mendadak,
bagaimana tidak, rencana untuk sekolah di Jogja pun didasarkan pada perancanaan
yang juga mendadak.
Masalah administrasi akhirnya bisa diselesaikan
juga, dengan menjelaskan alasan bahwa waktu yang diberikan tidak cukup, maka
pihak yayasan bisa memaklumi dan memberikan tenggang waktu kepada saya untuk
melengkapi berkas-berkas yang kurang.
Kini kita bicara tentang masalah
keuangan. Ya, ini masalah yang agak sensitif untuk diceritakan. Tahun 2006,
orang tua saya, papa dan mama di berhentikan secara massal oleh perusahaan yang
kurang lebih 25 menjadi tempat bekerja mereka. Alasannya adalah, perusahaan
yang semula diurus oleh warga Korea, kini beralih ketangan warga China.
Berjalan beberapa tahun, perusahaan mulai mengalami masa krisis, dan akhirnya,
berhenti total! Papa dan mama yang sewaktu itu menjadi pengangguran, tentu
tidak bisa membiayai uang sekolah saya. Itulah kenapa om, menyuruh saya ke
Jogja dan meminta saya sekolah disana.
Sewaktu saya dan papa ditanya pihak yayasan, apa
pekerjaan orang tua saya, saya tidak tau harus menjawab apa. Papa menjelaskan
bahwa beliau baru saja di PHK massal oleh perusahaan itu dan sekarang sedang
mencari pekerjaan. Lalu pihak yayasan menyarankan untuk mengurus “surat miskin”
agar saya mendapat keringanan dari yayasan atau mungkin bisa dibebaskan dari
uang sekolah dengan syarat-syarat yang berlaku, tentunya. Mendengar saran dari
pihak yayasan untuk mengurus surat miskin, saya minta papa untuk menolaknya.
Menolak bukan karna saya tidak sudi dibilang miskin dan mencoba bersikap
seperti orang kaya raya. Bukan itu. Saya menolak, karna saya merasa ada yang
kondisi jauh lebih parah dan memprihatinkan dibanding saya. Papa menolak dengan
alasan, “kami tidak bisa dikategorikan miskin. Ini sangat bertentangan dengan
hati nurani saya. Saya, istri dan anak saya masih memiliki tempat tinggal yang
layak, pakaian yang layak, hanya saya untuk saat ini saya belum menemukan
pekerjaan. Hanya itu yang menjadi permasalahannya, buk.” Kepala yayasan bisa
maklum, sebagai warga baru, yang harus beradaptasi, izin dan kelonggaran
kembali diberikan.
Saya dan
teman pertama yang saya temui di SMK
PIRI 3 Yogyakarta, Rista Ningsih. Foto ini diambil dalam rangka perjalan ke
Semarang, untuk melihat pabrik textile Sri Rejeki.
* * * * *
Jogjakarta adalah tempat baru bersama semua hal
yang baru yang saya terima. Sadar dengan langit berbeda yang saya junjung, dan
bumi baru yang saya injak, semua hal yang biasa saya lakukan, dan adat istiadat
yang ada di Padang, harus dirombak sebagian. Kita mulai dari cara
berkomunikasi. Di Jogjakarta, saya hampir tidak pernah mendengar adanya
teriakan, atau sekurang-kurangnya seseorang yang berbicara dengan nada tinggi.
Nyaris tidak pernah. Telinga saya selalu dimanjakan dengan bahasa yang santun
dan mendayu-dayu. Tinggal dikawasan keraton, kediaman om yang terletak di Jalan
Langenastran Lor no 11 alun-alun kidul, mayoritas warga disana menggunakan
bahasa jawa versi “halus”.
Kesulitan pertama yang saya alami adalah, setiap
orang yang melihat saya pertama kali selalu menduga bahwa saya adalah asli Jogja
dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa daerah. Padahal, saya asli Minang dan waktu itu saya
sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa jawa. Dipasar, dijalanan, ditoko,
diwarung, dimana saja saya berada, orang-orang akan langsung menggunakan bahasa
jawa memulai percakapannya. Saya jelaskan pada mereka bahwa saya ini adalah
warga pendatang dan saya berasal dari Padang. Banyak dari mereka yang terkejut,
lalu kembali bertanya, “ah, ojo ngapusi mbak e. kok ketok e mbak e
kuwi sami mawon karo wong kene e”. Saya hanya membalas dengan senyuman,
sebab saya tidak paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
Beralih membicarakan makanannya. Ini adalah
perbedaan yang paling mencolok antara dua tempat yang saya tinggali. Masakan
Padang yang ternama karna rasa pedasnya diadu dengan masakan Jogja yang unggul
dengan rasa manisnya. Untuk soal makanan, tidak ada masalah. Saya yang tidak
suka pedas tentu mudah beradaptasi dengan makanan yang ada disana. Tapi, untuk
masalah lauk pauk seperti tahu, tempe, ayam, daging dan ikan, tampaknya kota
Padang menang jauh daripada Jogja. Kota Padang yang berposisi dipinggir pantai
membuat konsumsi ikan bukanlah perkara rumit, menemukan ikan segar tidak lagi
membutuhkan waktu yang lama atau akses yang berbelit-belit. Berbanding terbalik
dengan Jogja. Selama saya disana, saya tidak pernah menemukan ikan segar yang
datang langsung dari laut, yang ada malah ikan yang sudah diberi es yang datang
dari luar kota seperti Semarang dan Solo.
Kediaman om yang ada di alun-alun utara selalu ramai
setiap malamnya. Jarak sekitar 20 meter dari rumah, bisa kita temukan berbagai
macam jajanan kaki lima mengitari lapangan
dengan dua pohon beringin besar ditengahnya. Wedang ronde, mie ayam,
baso, siomay, jus jeruk, bubur ayam, dan semua makanan yang saya tidak tau
judulnya berjejeran sampai tengah malam. Selama
disana, saya hanya beberapa kali keluar mencicipi jajanan itu karna
tidak ada teman yang bisa diajak jalan selain juga karna tidak suka keluar
malam.
* * * * *
Hal yang serupa juga terjadi pada ramadhan pertama
di kota ini. Imsak dan berbuka puasanya lebih cepat 45 menit dibanding kota
Padang, bahkan lebih cepat dari Jakarta. Saya sempat kaget dengan kondisi bulan
ramadhan pada siang hari. Daerah dengan penduduk yang memiliki jumlah warga
muslim dan non-muslim yang seimbang membuat saya menjadi bingung dan
bertanya pada diri sendiri, kenapa seperti ini penampakannya? Pagi hari,
warung-warung yang bertengger dipinggir alun-alun tetap dibuka dan pengunjung
bisa menyantap makanannya dengan lahap. Tidak ada masalah. Sementara di Padang,
adalah hal yang ganjil bukan jika ada yang makan diwarung pinggir jalan pada
siang hari dibulan Ramadhan? Tapi disore harinya, masjid yang ada disebelah
rumah saya selalu mengadakan buka bersama. Siapa saja warga muslim boleh mampir
kesana, tidak penting apakah kalian warga setempat atau orang-orang yang sedang
berkunjung dari luar. Ada pembagian makanan buka puasa gratis untuk yang sedang
berpuasa, ditambah suasana masjid yang nyaman dengan hiasan warna hijau lembut
ditiap dindingnya.
Yang terakhir, saya ingin bercerita tentang gaya
hidup mereka. Ada satu hal yang membuat saya sangat suka dengan kota ini.
Disana, mereka memakai azaz, “siapa lu,
siapa gue”. Barangkali ini terdengar “KEJAM” bagi sebagian orang, tapi saya
suka. Bukan karna saya tidak punya perasaan, tidak punya hati, tapi karna saya
tidak suka mengurus yang bukan kawasan saya. Tidak ada waktu bagi mereka mengurusi urusan orang
lain, apalagi yang tidak mengandung keuntungan untuk mereka. Disana kalian
bebas berbuat apa saja, asalkan bertanggung jawab dan tidak melecehkan dan
merugikan orang lain. Kebebasannya selalu dikontrol oleh “aturan baku”. Bicara tentang sesuatu tanpa data yang akurat
adalah hal yang tidak bisa dipercaya. Ingin bukti? Mari kita ambil contoh
pertama. Kalian pasti pernah melihat seseorang yang menatap kalian dari ujung
rambut sampai ujung kaki, bukan? Coba saja kalian lakukan hal itu disana, yang
ada kalian akan ditampar atau minimal ditanya dengan ketus, “ada apa lu liat-liat? Mau ngajakin ribut?
Iya? Ha?”. Mengerikan. Yang kedua, tentang pakaian. Kalau misalkan
kalian ketemu orang yang pakaiannya serba hitam, atau serba putih, tidak perlu
kalian berkomentar “ini pakaiannya hitam
semua? Mau pergi melayat ya, mbak?” atau “ini kenapa semua serba putih, mau praktek dimana?” sekali lagi saya
sarankan untuk tidak berkomentar banyak tentang pakaian seseorang. Kalau kalian
berkomentar seperti itu, mereka tidak
merasa dipermalukan, yang ada malahan kalian yang akan dianggap norak dan udik.
Bagaimana tidak? Orang-orang disana, memang sering menggunakan pakaian serba
hitam dimalam hari agar terkesan lebih modis, dan pakaian putih disiang hari,
agar panas cahaya matahari dapat terpantul dengan baik. Jadi, orang-orang
disana memang tidak doyan ambil pusing untuk urusan pakaian.
Setelah pulang ke Padang, saya kembali menemukan
kondisi yang menurut saya sangat abnormal. Kembali lagi saya beradaptasi dengan
suara yang keras, tatapan-tatapan aneh, dan mulut-mulut yang serba ingin tau.
Tapi bagaimanapun juga, bagaimanapun banyaknya hal-hal seru yang terjadi secara
beruntun ditempat itu, saya “harus” lebih mencintai daerah sendiri. Saya
mencintai tempat saya yang sekarang, walaupun saya masih belum bisa menerima
gaya hidup para penghuninya.