Selasa, 23 Desember 2014

Kau Tak akan Terganti

Diposting oleh AKSARA di 05.52 0 komentar


Andai bumi mampu berdiri sendiri
Tanpa mentari menerangi kemilau sunyi
Tak akan membuat artimu berganti
Dari yang kucinta, menjadi yang kubenci

Pori-pori jiwa telah lama menganga
Menelan setiap yang kupunya
Masa lalu itu adalah sejarah nyata
Bukti bahwa kau lebih memilih dia

Gelapku terselubungi garis semu
Menyatu bersama dingin penantianku
Jika dia yang kau mau,
Beri tahu aku agar tak larut menunggu

Jangan beri impian mematikan
Karna kau bukan lagi menjadi panutan
Lelah bersarang menggerogoti badan
Bagi perasaan terpendam yang tertahan 




Bukankah Aku???

Diposting oleh AKSARA di 05.49 0 komentar
Sudah berapa panjang masa yang kita habiskan?
Sewindu!
Kau lihat, kau membuangnya seperti sampah
Bahkan sampah yang kau buang itu
Tak layak lagi didaur ulang

Kau buat aku menjadi sebegitu kerdil
Dan kau menggantikan posisiku
Dengan nama yang lain


Bukankah aku yang menemanimu dari nol?
Lalu kenapa kau menggilas aku?
Bukankah aku yang membantumu mengeja rindu?
Lalu kenapa kau membelakangiku?


Membohongi Perasaan? Selalu!

Diposting oleh AKSARA di 05.32 0 komentar
Banyak dari kita membenci seorang pembohong. Saya pun begitu. Saya membenci kegiatan membohongi orang lain sebab langsung ataupun tidak, saya merasa sudah merugikannya dari berbagai aspek. Tapi lucunya, saya suka membohongi diri sendiri. Saya melakukannya secara berulang-ulang pada objek yang berbeda namun masih dengan metode yang sama.

Ini adalah kelemahan saya. Kelemahan yang sampai sekarang masih terus saya pertahankan. Saya belum menemukan cara yang bisa dipakai untuk menghilangkannya dari kehidupan saya. Bicara tentang perasaan dan hati adalah dua hal yang tidak ingin saya bahas dengan orang lain, KECUALI dengan orang yang benar-benar saya yakini.

Saya punya hati? Oh, tentu! Apakah saya memakainya? Ya. Tapi ketika seseorang bertanya bagaimana cara saya memakainya, saya langsung bungkam. Saya tidak suka diajak berbicara mengenai hal-hal 'sensitif'. Saya tau bahwa wanita dan perasaan bagai dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Tapi kenapa begitu sulit bagi saya bicara tentang perasaan? tentang hati? ha?

Jika nanti saya menemukan seorang teman yang bersedia membantu saya untuk lepas dari kebiasaan jelek ini, saya akan sangat berterima kasih sekali. Dia akan menjadi orang pertama tempat saya mengaku bahwa saya beruntung  sekali menemukannya dan dia adalah orang yang dengan jujur saya katakan bahwa, saya begitu menyayanginya...



Senin, 01 Desember 2014

Harapan Di Awal Desember...

Diposting oleh AKSARA di 06.02 0 komentar



Saya merasa malam ini lebih dingin dari biasanya. Hawa dingin menggiring saya duduk manis didepan benda yang lama tak terjamah dan membuka situs yang sudah mulai dilupakan. Ya, saya rindu kembali menulis, rindu bercerita panjang lebar, rindu didengarkan. Dan, hanya ini cara paling ampuh dijadikan pelampiasan. Di awal Desember, saya dikejutkan dengan rentetan kejadian yang menguras air mata. Sesuatu yang setahun terakhir tidak pernah saya produksi lagi. Saya teringat masa-masa kecil saya. Masa dimana saya tidak diuji Tuhan dengan ujian se-level ini, level 'advance'.Ada beberapa hal yang saya sesali di usia kali ini. Hemmm, belum sempat saya membahasnya satu persatu, kembali, mata ini mulai memerah, dan ada butiran bening didalamnya. Hampir menetes...

*menarik nafas panjang dan mulai kembali mengetik walau pandangan sempat buram karna airmata...

Kesibukan saya selama dua semester terakhir membuat saya lupa, bahwa ada hal-hal yang harus ikut saya perhatikan, bukan melulu tentang urusan kuliah dan kerja. Juga ada orang-orang yang harus saya berikan perhatian lebih, bukan hanya diri sendiri. Kegemaran saya hidup sendiri, menyelesaikan semuanya sendiri membuat saya menjadi tidak sadar bahwa akan ada masanya saya butuh bantuan orang lain. Saya selalu merasa yakin, sangat yakin bahwa hidup sendiri adalah hal yang menyenangkan. Itulah akibatnya, saya menjadi lupa bagaimana cara menghormati orang-orang disekeliling saya bahkan mereka yang begitu saya sayangi.

 Saya berharap Tuhan memberikan waktu lebih. Agar saya lebih bisa menghormati mereka semua. Agar mereka tidak ada yang mengeluh lagi sebab kurang dihargai oleh saya. Agar tidak ada lagi hati yang saya sakiti dan telinga yang saya lukai. Saya tau, semua ini adalah kesalahan saya. Kesalahan dari kebiasaan saya yang tidak pernah ingin disalahkan, kebiasaan yang selalu bertanya "ada apa dengan mereka?". Saya ingin membalikkan semuanya. Saya ingin memperbaiki semuanya. Sungguh, saya sama sekali tidak pernah merencanakan kejahatan apapun terhadap mereka atau siapapun itu. Sungguh. 

Saya juga berharap Tuhan semakin menekan ego saya dan meningkatkan kesabaran saya. Ke-egoisan saya yang secara langsung atau pun tidak sudah mulai mematikan sisi manusiawi saya. Ke-egoisan yang membuat saya selalu berfikir bahwa saya adalah yang paling benar sampai-sampai saya lupa pada kebenaran. Saya juga meminta agar Tuhan menyebarkan hati saya. Sabar terhadap semua yang menekan saya, sabar terhadap yang membuat saya merasa sakit dan juga bersabar pada hal-hal sepele yang sepatutnya tidak perlu saya gubris. 

Saya juga minta, Tuhan  melembutkan hati saya untuk mencintai setiap orang yang mencintai saya. Lembutkan bahasa saya kepada Mama, Papa, Abang, Keponakan, dan siapa saya yang berurusan dengan saya. Saya berharap bisa memupuk kembali sisi 'lembut' yang sempat menjadi kasar karna kejadian dimasa lalu. Rasa sakit memang seharusnya mengajarkan saya menjadi kuat, bukan menjadi kasar dan tidak beraturan.

Teristimewa untuk kedua keponakan saya, yang menjadi alasan kenapa saya selalu ingin cepat pulang kerumah. Saya ingin lebih menghabiskan waktu saya bersama dengan mereka. Ingin menggendongnya lebih lama, ingin mengajaknya berjalan setiap sore atau sekedar bermain air bersama. Saya ingin tertawa bersama, ingin tidur siang bersama, memasak untuknya dan menyuapinya makan siang. 

Kepada mama, wanita yang tidak pernah berpura-pura mencintai saya, saya ingin membahagiakannya semampu yang saya bisa. Saya ingin menjadi anak perempuan yang selalu memasang kedua telinga saya untuk semua nasehatnya, yang selalu menutup mulut saya ketika mama sempat marah kepada saya. Kepada Papa, pria yang paling saya sayangi. Saya ingin menghabiskan banyak hari dan waktu bersamanya dan bersama semua yang tidak bisa saya sebutkan namanya.

Juga kepada siapa saja yang sudah memerikan ilmunya. Maafkan saya, maafkan saya yang belum bisa dikategorikan sebagai mahasiswi yang baik. Bukan karna saya tidak mencoba, hanya saja saya selalu gagal. Tapi, setidaknya, saya sadar akan kesalahan dan tidak terus-terusan membuat pengakuan tentang kebenaran. Saya lebih suka membicarakan keburukan saya sendiri dari pada mencari kesalahan orang lain untuk mempertahankan harga diri. 

Sekarang, saya merasa lebih baik setelah saya meluapkan semuanya. Saya merasa tidak ada kesedihan yang tersisa. Ini hari baru, semangat baru, bulan baru, dan insya Allah sebentar lagi akan masuk tahun baru 2015. Selamat datang di Desember, selamat datang di harapan yang baru...

~Shinta Winanda





Sabtu, 08 Februari 2014

Selamat Datang di Semester Baru

Diposting oleh AKSARA di 06.13 0 komentar


Selamat Datang di Semester Baru…

Udah lama juga gue ga nulis di blog ini. Kalo biasanya tulisan gue formatnya formal sangat, kali ini boleh donk ya gue pake format yang agak beda dikit. Kan disini yang bakal baca juga kita-kita aja, atau sekurang-kurangnya antara lu dan gue lah. Oke.
Dibaca dari judulnya aja, udah mulai mules kepala ini. Ya, selamat datang di semester baru itu sama artinya dengan selamat datang dikeaadaan KRITIS. Banyak temen-temen gue yang minta perpanjangan libur semester, bahkan saking gak mau kembalinya kekampus, meraka minta liburan diperpanjang sampai akhir taun. Kenapa ga ngurus cuti kuliah aja sekalian!  Tapi ya sudahlah, gue dan temen-temen yang seperti itu sudah sangat maklum. Gua sudah sangat terbiasa dengan segala hal yang tidak waras yang kerap mereka lakukan.
Bagi gue sendiri, semester baru itu menarik. Menarik karna gue berhak mempersiapkan resolusi apa yang akan gue tulis untuk kedepannya. Baik itu jangka pendek atau jangka panjang. Sebagai mahasiswa yang terhitung tidak muda lagi, gua harus lebih serius daripada semester kemaren. Berikut ini adalah beberapa resolusi rancangan gue untuk semester ini :
  1. Datang tepat waktu
Bisa datang tepat waktu adalah keajaiban buat gue. Gue sendiri gak tau penyakit suka ngaret ini gua wariskan dari siapa. Kalo misalnya gue bilang akan datang jam 10, it means gue akan datang 30 menit setelah waktu yang dijanjikan. Kalo gue bilang “sebentar lagi” itu artinya “45 menit” lagi. Kalo gue boleh mempermalukan diri sendiri, gue akan mengakui kalo gue pernah diusir dua kali berturut-turut oleh dosen yang sama. Lalu apakah gue jera? Sedikitpun tidak! Hahahah.
Tapi gue gak boleh terlalu lembut pada diri ini. Gue akan bersikap sangat tengas mulai semester depan. Gue akan datang sekurang-kurangnya 15 menit sebelum jadwal yang tentukan. Tidak peduli apakah dosen itu datangnya telat atau gak, yang penting gue udah duduk manis didalam ruangan. Karna gue takutnya sama dosen yang on time tingkat dewa. Masya Allah, itu sesuatu banget. Tapi gua menghargai dosen yang seperti itu, berarti dia menghargai waktu. Menghargai waktu, sama dengan menghargai uang.
  1. Tepat waktu mengumpulkan tugas
Gue paling suka mengundur-undur waktu. Semboyannya adalah jika masih ada hari esok, kenapa harus dilakukan hari inii?”  ini adalah semboyan yang gue anut selama menjadi mahasiswa. Tugas akhir yang diberikan masa tenggang selama sebulan, bisa gue kerjakan hanya dalam seminggu. Kebanyakan temen-temen gue rela begadang demi tugas. Sementara gue? Gue adalah orang yang egois, dan gue tidak akan pernah mengorbankan diri ini demi tugas. Apalagi begadang. Gue lebih suka tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Dengan begitu pikiran jadi lebih segar dan kesehatan pun tidak menurun. Semester yang lalu, rata-rata semua tugas gue tetap dikumpul on time, tapi pengerjaannya kurang maksimal.
Walaupun dikerjakan setengah fokus, tugas yang gue kerjakan masih sering dihargai dengan huruf A atau B. Tapi disemester ini, gue ingin lebih bersungguh-sungguh. Tugas itu gak sekedar tentang nilai. Gue berniat mengerjakannya tepat waktu dan sepenuh hati. Ehehehe…
  1. Rajin bertanya dan aktif dikelas
Kebanyakan metode kuliah yang dipakai saat ini adalah metode diskusi dan presentasi. Dosen mengiming-imingi nilai tambahan bagi siapa yang rajin bertanya. Tidak dijelaskan persyaratan dari pertanyaan yang diajukan. Asalkan mahasiswa bertanya, mereka mendapat tambahan nilai. Walaupun lu menanyakan “Pak, kapan kita pulang?” lu akan tetep diberikan nilai. Wah keren banget nih! Banyak  mahasiswa yang getol-getolnya mengajukan pertanyaan kepada tim penyaji. Dan jenis pertanyaan ini pun berbeda beda. Mulai dari bertanya hanya untuk mendapatkan nilai, bertanya lantaran tidak mengerti, bertanya karna ingin mengukur seberapa pintar tim penyaji, sampai pada pertanyaan yang tidak berbobot dan tidak bergizi. Ini juga yang membuat gue jarang bertanya dan terlihat tidak aktif dikelas. Dosen gue bilang kalo gue mahasiswa yang pasif, sering duduk dibelakang, jarang ikut nimbrung diskusi. Akhirnya gue jelaskan. Gue hanya akan bertanya ketika semua sumber yang gue baca dan gue dengar tidak memberikan pencerahan. Gue ga suka yang namanya bertanya hanya untuk memojokkan teman. Buat apa juga gue mengajukan pertanyaan kalo gue sendiri bisa menjawabnya. Lagian, kalo gue ingin jawaban yang piter, otomatis gue harus menanyakan sesuatu yang cerdas donk ya?
Pernah waktu itu, gue bertanya pada tim penyaji yang anggotanya senior semua. Pertanyaan gue ga keluar dari pembahasan kok, gue juga bertanya karna gue ga ngerti sama sekali. Setelah gue bertanya, jawaban yang gue dapat dari dosen gue adalah “Anda seharusnya bertanya berdasarkan apa yang dipresentasikan oleh penyaji. Bukan berdasarakan apa yang Anda baca!”
Jujur sejak saat itu gue jadi anti dan paling benci bertanya-tanya. Kalo dosennya menjawab pertanyaan gue dengan kalimat seperti itu, tentunya gue juga akan perfikir, “ternyata selama ini gue gak diperbolehkan menjadi orang bodoh dengan bertanya tentang apa yang gue gak tau. Gue di tuntut untuk menjadi pintar setiap waktu. Atau jangan-jangan orang ini yang tidak secerdas yang gue prediksi.” Tapi itukan masa lalu, gue kasihan aja sama dosen itu yang menutupi ketidaktahuannya dengan mempermalukan gue didepan umum seperti itu. Gue berharap semester ini gak ketemu lagi sama yang begituan. Ngeri.
  1. Mengulang kembali pelajaran
Selama kuliah gua bisa dibilang jarang sekali mengulang pelajaran dirumah. Walaupun seminggu lagi bakal ada UAS, gue tetep gak pernah belajar malam hari sebelum ujian. bukannya sombong ya, gue juga gak pinter-pinter banget. Tapi untuk mengulang pelajaran, gua memang sulit melakukannya. Jalan lainnya adalah, ketika dosen menyampaikan materi kuliah,  gue gak mau ngobrol sama tetangga sebelah. Perhatian gue fokus mendengarkan dan memahami penjelasan yang dosen sampaikan. Gue lebih suka memahami pelajaran dari pada menghafalnya. Karna ketika gue memahaminya, dimanapun dan kapanpun gue akan tetep bisa menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa gue sendiri. Sedangkan kalo menghafal, akan lebih cepat lupanya. Tapi gak semua mata kuliah hanya cukup dengan dipahami. Ada juga yang harus dihafal, seperti grammar misalnya. Mungkin semester ini gue akan lebih banyak belajar untuk memperbaiki grammar gue yang belum sempurna. Sampai sekarang gue belum tau dosen mana yang bakal gue pilih untuk belajar grammar.
  1. Menjaga kesehatan
Ini adalah resolusi yang dengan sengaja gue posisikan dibagian akhir. Karna kalo resolusi yang satu ini gagal, maka gagal lah semua resolusi yang gue tulis sebelumnya. Kesehatan itu bener-bener harus dijaga. Karna sekali aja lu sakit, terserah mau menderita penyakit apa, maka lu akan kehilangan banyak hal. Contohnya, ketika lu sakit, lu akan kehilangan semangat belajar, kehilangan selera makan, kehilangan banyak waktu untuk tiduran dikamar, kehilangan ibadah-ibadah sunnah dan yang terakhir kehilangan banyak biaya. Jadi, untuk hidup sehat itu gak sulit kok. Makan yang teratur, olahraga rutin, menjalani hoby dan jangan terlalu stress.
Gue gak ingin kejadian disemester kemaren terulang lagi, semua gagal hanya karna sikap negatif yang gue idap. Tapi kali ini, semoga gue bisa menjalankan pola hidup sehat yang sudah gue mulai sejak tiga bulan yang lalu. Aamiin…


 Bersama Yessiva Neida, Deny Mardiati  yang sedang menunggu dosen kuliah Adv. Grammar
Bersama Nurrahman, Yessiva dan Maria dikelas Seminar On Teaching Language :)

Jogjakarta

Diposting oleh AKSARA di 05.49 0 komentar
Delapan tahun yang lalu, tahun 2007, saya meninggalkan kota Padang dan menetap di Jogjakarta demi melanjutkan pendidikan. Adik papa, meminta saya untuk mengambil jurusan tata busana, agar ada penerus Om, yang berprofesi sebagai perancang busana muslim wanita. Tapi saya menolaknya dengan alasan, saya tidak punya bakat yang dibidang itu. Apa jadinya saya menekuni satu bidang yang tidak saya sukai? Pasti tidak akan pernah berhasil, saya rasa. Saya   memilih Administrasi perkantoran sebagai pilihan akhir. Memenuhi semua hal-hal yang dibutuhkan, mulai dari legalisir ijazah, surat keterangan pindah dari dinas, surat kesehatan, sampai pada surat bebas narkoba. Siswa baru yang datang dari luar daerah, terlebih dari luar pulau, diharuskan menyerahkan surat bebas narkoba dengan alasan banyaknya remaja saat ini yang sudah menjadi pemakai dan pengedar diusia sekolah. Oke, untuk yang satu ini saya tidak bisa memenuhinya, semua karna waktu yang diberikan terlalu sempit. Saya tidak tau dimana rumah sakit yang ada disana, sedangkan dua hari lagi hari pertama sekolah akan dimulai. Waktu dua hari itupun dirasa tidak cukup, karna banyak yang haruas diurus. Ada seragam sekolah dari yayasan yang belum sempat dijahit, buku tulis dan alat-alat tulis yang belum sempat dibeli, dan perlengkapan MOS lainnya. Segalanya memang serba mendadak, bagaimana tidak, rencana untuk sekolah di Jogja pun didasarkan pada perancanaan yang juga mendadak.
Masalah administrasi akhirnya bisa diselesaikan juga, dengan menjelaskan alasan bahwa waktu yang diberikan tidak cukup, maka pihak yayasan bisa memaklumi dan memberikan tenggang waktu kepada saya untuk melengkapi berkas-berkas yang kurang. 

Kini kita bicara tentang masalah keuangan. Ya, ini masalah yang agak sensitif untuk diceritakan. Tahun 2006, orang tua saya, papa dan mama di berhentikan secara massal oleh perusahaan yang kurang lebih 25 menjadi tempat bekerja mereka. Alasannya adalah, perusahaan yang semula diurus oleh warga Korea, kini beralih ketangan warga China. Berjalan beberapa tahun, perusahaan mulai mengalami masa krisis, dan akhirnya, berhenti total! Papa dan mama yang sewaktu itu menjadi pengangguran, tentu tidak bisa membiayai uang sekolah saya. Itulah kenapa om, menyuruh saya ke Jogja dan meminta saya sekolah disana.
Sewaktu saya dan papa ditanya pihak yayasan, apa pekerjaan orang tua saya, saya tidak tau harus menjawab apa. Papa menjelaskan bahwa beliau baru saja di PHK massal oleh perusahaan itu dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Lalu pihak yayasan menyarankan untuk mengurus “surat miskin” agar saya mendapat keringanan dari yayasan atau mungkin bisa dibebaskan dari uang sekolah dengan syarat-syarat yang berlaku, tentunya. Mendengar saran dari pihak yayasan untuk mengurus surat miskin, saya minta papa untuk menolaknya. Menolak bukan karna saya tidak sudi dibilang miskin dan mencoba bersikap seperti orang kaya raya. Bukan itu. Saya menolak, karna saya merasa ada yang kondisi jauh lebih parah dan memprihatinkan dibanding saya. Papa menolak dengan alasan, “kami tidak bisa dikategorikan miskin. Ini sangat bertentangan dengan hati nurani saya. Saya, istri dan anak saya masih memiliki tempat tinggal yang layak, pakaian yang layak, hanya saya untuk saat ini saya belum menemukan pekerjaan. Hanya itu yang menjadi permasalahannya, buk.” Kepala yayasan bisa maklum, sebagai warga baru, yang harus beradaptasi, izin dan kelonggaran kembali diberikan.

Saya dan teman pertama yang saya temui  di SMK PIRI 3 Yogyakarta, Rista Ningsih. Foto ini diambil dalam rangka perjalan ke Semarang, untuk melihat pabrik textile Sri Rejeki.


*          *          *          *          *
Jogjakarta adalah tempat baru bersama semua hal yang baru yang saya terima. Sadar dengan langit berbeda yang saya junjung, dan bumi baru yang saya injak, semua hal yang biasa saya lakukan, dan adat istiadat yang ada di Padang, harus dirombak sebagian. Kita mulai dari cara berkomunikasi. Di Jogjakarta, saya hampir tidak pernah mendengar adanya teriakan, atau sekurang-kurangnya seseorang yang berbicara dengan nada tinggi. Nyaris tidak pernah. Telinga saya selalu dimanjakan dengan bahasa yang santun dan mendayu-dayu. Tinggal dikawasan keraton, kediaman om yang terletak di Jalan Langenastran Lor no 11 alun-alun kidul, mayoritas warga disana menggunakan bahasa jawa versi “halus”.
Kesulitan pertama yang saya alami adalah, setiap orang yang melihat saya pertama kali selalu menduga bahwa saya adalah asli Jogja dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa daerah.  Padahal, saya asli Minang dan waktu itu saya sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa jawa. Dipasar, dijalanan, ditoko, diwarung, dimana saja saya berada, orang-orang akan langsung menggunakan bahasa jawa memulai percakapannya. Saya jelaskan pada mereka bahwa saya ini adalah warga pendatang dan saya berasal dari Padang. Banyak dari mereka yang terkejut, lalu kembali bertanya, “ah, ojo ngapusi mbak e. kok ketok e mbak e kuwi sami mawon karo wong kene e”. Saya hanya membalas dengan senyuman, sebab saya tidak paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. 

Beralih membicarakan makanannya. Ini adalah perbedaan yang paling mencolok antara dua tempat yang saya tinggali. Masakan Padang yang ternama karna rasa pedasnya diadu dengan masakan Jogja yang unggul dengan rasa manisnya. Untuk soal makanan, tidak ada masalah. Saya yang tidak suka pedas tentu mudah beradaptasi dengan makanan yang ada disana. Tapi, untuk masalah lauk pauk seperti tahu, tempe, ayam, daging dan ikan, tampaknya kota Padang menang jauh daripada Jogja. Kota Padang yang berposisi dipinggir pantai membuat konsumsi ikan bukanlah perkara rumit, menemukan ikan segar tidak lagi membutuhkan waktu yang lama atau akses yang berbelit-belit. Berbanding terbalik dengan Jogja. Selama saya disana, saya tidak pernah menemukan ikan segar yang datang langsung dari laut, yang ada malah ikan yang sudah diberi es yang datang dari luar kota seperti Semarang dan Solo.  
Kediaman om yang ada di alun-alun utara selalu ramai setiap malamnya. Jarak sekitar 20 meter dari rumah, bisa kita temukan berbagai macam jajanan kaki lima mengitari lapangan  dengan dua pohon beringin besar ditengahnya. Wedang ronde, mie ayam, baso, siomay, jus jeruk, bubur ayam, dan semua makanan yang saya tidak tau judulnya berjejeran sampai tengah malam. Selama  disana, saya hanya beberapa kali keluar mencicipi jajanan itu karna tidak ada teman yang bisa diajak jalan selain juga karna tidak suka keluar malam.

*       *       *          *          *
Hal yang serupa juga terjadi pada ramadhan pertama di kota ini. Imsak dan berbuka puasanya lebih cepat 45 menit dibanding kota Padang, bahkan lebih cepat dari Jakarta. Saya sempat kaget dengan kondisi bulan ramadhan pada siang hari. Daerah dengan penduduk yang memiliki jumlah warga muslim dan non-muslim yang seimbang membuat saya menjadi bingung dan bertanya pada diri sendiri, kenapa seperti ini penampakannya? Pagi hari, warung-warung yang bertengger dipinggir alun-alun tetap dibuka dan pengunjung bisa menyantap makanannya dengan lahap. Tidak ada masalah. Sementara di Padang, adalah hal yang ganjil bukan jika ada yang makan diwarung pinggir jalan pada siang hari dibulan Ramadhan? Tapi disore harinya, masjid yang ada disebelah rumah saya selalu mengadakan buka bersama. Siapa saja warga muslim boleh mampir kesana, tidak penting apakah kalian warga setempat atau orang-orang yang sedang berkunjung dari luar. Ada pembagian makanan buka puasa gratis untuk yang sedang berpuasa, ditambah suasana masjid yang nyaman dengan hiasan warna hijau lembut ditiap dindingnya. 

Yang terakhir, saya ingin bercerita tentang gaya hidup mereka. Ada satu hal yang membuat saya sangat suka dengan kota ini. Disana, mereka memakai azaz, “siapa lu, siapa gue”. Barangkali ini terdengar “KEJAM” bagi sebagian orang, tapi saya suka. Bukan karna saya tidak punya perasaan, tidak punya hati, tapi karna saya tidak suka mengurus yang bukan kawasan saya. Tidak ada waktu bagi mereka mengurusi urusan orang lain, apalagi yang tidak mengandung keuntungan untuk mereka. Disana kalian bebas berbuat apa saja, asalkan bertanggung jawab dan tidak melecehkan dan merugikan orang lain. Kebebasannya selalu dikontrol oleh “aturan baku”. Bicara tentang sesuatu tanpa data yang akurat adalah hal yang tidak bisa dipercaya. Ingin bukti? Mari kita ambil contoh pertama. Kalian pasti pernah melihat seseorang yang menatap kalian dari ujung rambut sampai ujung kaki, bukan? Coba saja kalian lakukan hal itu disana, yang ada kalian akan ditampar atau minimal ditanya dengan ketus, “ada apa lu liat-liat? Mau ngajakin ribut? Iya? Ha?”. Mengerikan. Yang kedua, tentang pakaian. Kalau misalkan kalian ketemu orang yang pakaiannya serba hitam, atau serba putih, tidak perlu kalian berkomentar “ini pakaiannya hitam semua? Mau pergi melayat ya, mbak?” atau “ini kenapa semua serba putih, mau praktek dimana?” sekali lagi saya sarankan untuk tidak berkomentar banyak tentang pakaian seseorang. Kalau kalian  berkomentar seperti itu, mereka tidak merasa dipermalukan, yang ada malahan kalian yang akan dianggap norak dan udik. Bagaimana tidak? Orang-orang disana, memang sering menggunakan pakaian serba hitam dimalam hari agar terkesan lebih modis, dan pakaian putih disiang hari, agar panas cahaya matahari dapat terpantul dengan baik. Jadi, orang-orang disana memang tidak doyan ambil pusing untuk urusan pakaian.

Setelah pulang ke Padang, saya kembali menemukan kondisi yang menurut saya sangat abnormal. Kembali lagi saya beradaptasi dengan suara yang keras, tatapan-tatapan aneh, dan mulut-mulut yang serba ingin tau. Tapi bagaimanapun juga, bagaimanapun banyaknya hal-hal seru yang terjadi secara beruntun ditempat itu, saya “harus” lebih mencintai daerah sendiri. Saya mencintai tempat saya yang sekarang, walaupun saya masih belum bisa menerima gaya hidup para penghuninya.

Potret

Diposting oleh AKSARA di 05.45 0 komentar
 Anak-anak itu menyenangkan. Mereka selalu ingin tau tentang sebuah hal. Sama seperti gambar ini, mereka penasaran dan melihat keatas benda apa yang sedang ada diatas kepalanya. Dan, jepreeet, lahirlah gambar yang menarik ini. 


Wajah polos dan anggun ini sangat menakjubkan. Senyum simpul, real, dan tanpa basa-basi. Ah, Salma dan Farrel memang selalu cocok duduk berdua. Si abang dan si adek yang akur setiap saat. 

 Lihat dua bocah itu berlarian tanpa sadar kalau-kalau ada kamera yang mengintai gerak gerik mereka. Lagi-lagi, gambar yang diambil tanpa sengaja memang lebih banyak mengandung pesan.

 Tinggal bertahun-tahun di Kota Padang tapi jarang menjajaki negeri sendiri. Kasihan. Sekali jalan keluar, baru tau kalo kota ini punya banyak tempat untuk memanjakan mata, salah satunya ya jembatan ini, Siti Nurbaya :)

 Pertama kali mengendarai motor disini, jujur awalnya tidak tau ini tempat apa. Pernah kesini, tapi itu waktu masih SD, papa sering membawa aku jalan-jalan sore kesini. Sisanya, tidak pernah aku kunjungi lagi. Kalau tidak salah ini nama tempatnya adalah, Muaro. (Ya, mudah-mudahan saja betul :D)


"Kau tau seperti apa keberadaanmu bagi jiwaku, seperti cahaya matahari pagi. Lembut dan menenangkan" Hahahah... Satuhal yang membuat kita selalu bersyukur adalah masih bisa bangun dari tidur, shalat subuh dan memandangi matahari. 


 Banyak yang bilang hidup sebagai balita lebih menyenangkan. Tidak ada hal serius yang harus difikirkan. Lihat saja si Nona cantik ini, duduk diam dengan santainya bersandar pada kursi rotan dirumah nenek, berpose ditengah-tengah derasnya hujan mengguyur atap rumah.


oh, kaki ini begitu indah dan belum pernah dipakai untuk menginjak tanah. Ah, kakimu itu, membuat aku ingin mencubitnya :D


 Dia itu cantik sih, tapi ga ada rambutnya... :D

Lebih Dari Sekedar Hancur Lebur

Diposting oleh AKSARA di 05.40 0 komentar
belum diakui kekuatan seseorang yang mengaku-ngaku dirinya beriman sementara dia belum pernah diperkenalkan pada realita yang menyakitkan, realita yang banyak menguras airmatanya”
Tahun 2013 aku habiskan dengan pelajaran yang tidak pernah kuterima disekolah, dikampus, atau dirumah bahkan dimana saja. Pelajaran ini datang langsung dari kehidupan dan yang memberikan kehidupan itu sendiri. Tuhan, Dzat yang aku takuti sekaligus aku abaikan selama ini memberi sedikit ujian. Menguji  seberapa tabah hatiku, dan seberapa tangguh bahuku memikulnya serta seberapa minim lisanku mengeluh selama masa uji coba. Ini adalah fase tersulit. Aku sadar ini adalah skenario terburuk dari Sang Sutradara. Sebagai  pemain, aku hanya bisa menjalanku karakterku dengan baik, seperti yang Sutradara inginkan.
Bicara tentang penyakit, aku termasuk yang jarang menderita sakit. Baik itu sekedar flu, demam atau panas, bahkan sampai pada penyakit parah sekalipun. Tapi lihatlah sekarang. Aku tidak hanya diberikan penyakit, aku juga diberikan beban mental melalui kuliahku yang hancur. Bahkan kehancuranku kali ini lebih dari sekedar hancur lebur. Aku terpuruk melebihi batas normal, aku cair melewati batas didih. Sungguh, kehancuran ini terjadi tanpa cela, begitu sempurna.
selalu ada hikmah dari semua cobaan.”
Kebiasaanku berfikir negatif, berprasangka buruk, tidak berani aku terapkan kepada Tuhan. Aku mencoba meraup sebanyak-banyaknya “keuntungan” dari apa yang Tuhan berikan, walaupun dari tampilannya, masalah ini seperti tidak berujung. Karna dengan mengeluh, apalagi memaki Tuhan dengan jalan hidup yang telah dipilihkan-Nya tidak akan menjernihkan keadaan, sebaiknya kuhadapi saja. Jika badai dahsyat saja bisa berlalu, tentu gerimis kali ini tidaklah seberapa. Kurang lebih seperti itulah kiasannya.
Tuhan, ujilah aku semau-Mu, tapi tolong tangguhkan diriku. Kuatkan bahuku menopangnya atau pinjamkan padaku bahu seseorang untukku bersandar melepas lelah diri.”
Rasa sakit yang diderita adalah cara menggugurkan dosa-dosa masa lalu. Aku bukan manusia yang bersih, sempurna seutuhnya. Aku bersama angkuhku, selalu merasa lebih baik dari orang lain, tidak bersedia menerima kritikan, rutin mencari kesalahan orang, kali ini terjerembab oleh ego-ku sendiri. Papa meminta aku untuk memaafkan semua orang yang menyakitiku dan meminta maaf kepada siapa saja yang pernah kusakiti. Orang pertama yang kudatangi adalah mama. Rasanya bolehlah aku sedikit bersyukur dengan sikapku saat itu. Se-egois apapun aku, aku tidak malu mengulurkan, menjabat tangan mama dan menempelkannya dipipiku, lalu berkata, “ma, maafkan aku”. Pemandangan mulai buram karna mata yang berkaca-kaca. Tubuh yang lemah ini terasa berenergi kembali dalam pelukan wanita itu, mama tercinta.
bersabar adalah bagian dari obat”

ini adalah keadaan setelah beberapa minggu sakit dan istirahat dirumah. Akhirnya bisa lagi datang kekampus menyelesaikan masalah kuliah yang masih terbengkalai. Aku sedang berada di Mesjid kampus. Tampak agak pucat, dan beberapa jerewat akibat dari alergi obat vertigo yang kuminum. Foto ini diambil oleh Rizalliza Ariyanti, seorang senior di jurusan Matematika”

Jarang mengalami sakit, membuatku tidak tau seperti apa prosedur berobat dirumah sakit, diklinik, atau ditempat pengobatan dimana saja. Berangkat dari rumah jam 8 malam setelah sholat Isya, mendapati jalanan basah dan becek karna hujan deras yang tidak kunjung berhenti, sampai akhirnya kembali pulang kerumah jam 10 malam masih dalam kondisi hujan deras. Semua aku jalani bersama mama. Hanya mama dan orang yang mencintaiku yang tau betapa berat penyakit vertigo ini kuhadapi. Sisanya, hanya sekedar ingin tau dan mengangguk bahkan ada yang dengan lantang seperti menganggap aku sedang melakukan omong kosong seraya mengada-ada.
Aku pernah bercerita kepada seseorang tentang penyakitku, menceritakan semua yang aku rasakan dengan terperinci. Aku tidak sedang berusaha mendramatisasi suasana atau mencoba mengarang indah ditelinganya, tapi apa yang kudapat? “Hemmm, banyak sekali penyakitnya ya? Trus apa lagi penyakitnya? Udah ada vertigo, serangan panic, scoliosis, maag, trus apalagi?” dia mengucapkan itu dengan wajah seolah-olah menilai ucapanku hasil imajinasi. Aku  tau betul apa yang ada dikepalanya saat itu. Seandainya dia tau, aku tidak pernah butuh belas kasihan darinya, sedikitpun tidak! Setelah mendengar kalimat yang menghancurkan tadi, sontak hatiku ingin sekali mengutuknya, meminta pada Tuhan semoga suatu saat dia menempati posisiku saat ini. Sebelum kutukan itu kunyatakan, teringat pesan papa ditelfon sebelumnya, “maafkan siapa saja yang menyakitimu, tak perlu mengotori hati dan lidahmu membalas mereka yang berbuat jahat. Allah tau balasan mana yang terbaik untuk mereka. Maafkan. Ikhlaskan”. Peringatan dari papa mengubah kutukan menjadi do’a sederhana untuknya, “Ya Allah, maafkan dia, sehatkan dia, panjangkan umurnya. Jangan biarkan dia menjadi seperti dan merasakan penyakitku”.
*             *             *             *             *
Dan, apa  kabar dengan kuliahku? Jawabannya diwakilkan oleh dua kata, GAGAL TOTAL! Ya, sekali lagi aku katakan, gagal total. Aku harus melupakan tujuh mata kuliahku semester ini, dan tidak satupun bisa aku pertahankan. Menyedihkan bukan? Memang. Rencana ingin lulus dalam 4 tahun kini menjadi mimpi indah yang tentu tak mungkin terwujud. Sulit bagiku menjelaskan pada orangtua bahwa aku tidak bisa menepati janjiku sebelumnya. Untuk menghibur diri, aku mengorek-ngorek hikmah apa yang ada didalam keamburadulan ini. Pertama, aku ingin lulus tepat waktu sementara Tuhan ingin aku lulus diwaktu yang tepat. Dan rencana Tuhan tidak pernah didasarkan pada hipotesis yang salah, bukan? Kini, walau terjatuh aku harus bangun dan kembali berlari. Tidak ada waktu melihat kebelakang karna aku ingin memperbaiki masa depan.

“Ini adalah satu dari tujuh mata kuliah semester lima yang tidak bisa dipertahankan. Padahal kuliah Paper Thesis Writing ini adalah mata kuliah menulis yang kusukai. Aku sudah melaksanakan Mid Semester bersama teman-teman. Tapi sayang, semua yang pernah aku tulis pada mata kuliah ini harus kusimpan untuk kembali diulang pada semester tujuh. Insya Allah.”

Selanjutnya, aku ingin cepat-cepat keluar dari kampus dan diwisuda sementara kemampuanku masih belum memenuhi persyaratan. Kuliah itu bukan tentang menjadi sarjana dengan tambahan gelar. Jika kuliah untuk mencari gelar, mungkin banyak cara mendapatkannya. Menurutku, kuliah untuk menemukan ilmu. Selama kuliah, aku tidak pernah complain dengan nilai C, atau nilai D yang pernah diberikan dosen. Tidak ada pembelaan untuk nilaiku yang buruk itu, apalagi sampai-sampai mencari dosen dan meminta beliau menjelaskannya. Jangan harap itu terjadi.
Yang penting itu adalah ilmunya, nilai hanyalah bonus. Oke, hari ini aku mendapatkan nilai A pada mata kuliah Speaking sementara aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan baik dan benar. Bukankah itu lebih memalukan dibanding mendapat nilai D? Tidak perlu munafik juga, nilai memang penting tapi tak berarti segalanya. Dosen pun tidak akan sembarangan memberikan nilai jelek kepada mahasiswanya. Kalaupun mereka melakukannya, mereka yang bertanggung jawab penuh atas ketidak adilan itu. Diberi nilai jelek adalah peringatan. Aku diingatkan untuk lebih serius dalam kuliah. Semester tiga kemaren, aku pernah diberi nilai D pada mata kuliah Writing II karna aku tidak masuk kuliah selama 4 kali. Ya sudah, semester lima aku mengulang mata kuliah itu masih dengan dosen yang sama. Tidak ada dendam, tidak ada niat buruk, tidak ada masalah dan tidak ada keinginan untuk pilih-pilih dosen. Kuliah itu adalah perjalanan panjang dengan medan yang terus menanjak, tidak ada turunannya. Dan selalu beruntung dalam setiap tanjakan, itu tidak seru! Kadang aku harus jatuh, kalah terluka, dan terpeleset. Merasa kalah dan hancur tidak pernah terasa semanis ini sebelumnya. Terasa manis karna semua hikmah telah diraih. Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk ujian-Mu tahun ini.


 

A K S A R A Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea