“belum diakui kekuatan seseorang
yang mengaku-ngaku dirinya beriman sementara dia belum pernah diperkenalkan
pada realita yang menyakitkan, realita yang banyak menguras airmatanya”
Tahun 2013 aku habiskan dengan
pelajaran yang tidak pernah kuterima disekolah, dikampus, atau dirumah bahkan
dimana saja. Pelajaran ini datang langsung dari kehidupan dan yang memberikan
kehidupan itu sendiri. Tuhan, Dzat yang aku takuti sekaligus aku abaikan selama
ini memberi sedikit ujian. Menguji seberapa
tabah hatiku, dan seberapa tangguh bahuku memikulnya serta seberapa minim
lisanku mengeluh selama masa uji coba. Ini adalah fase tersulit. Aku sadar ini
adalah skenario terburuk dari Sang Sutradara. Sebagai pemain, aku hanya bisa menjalanku karakterku
dengan baik, seperti yang Sutradara inginkan.
Bicara tentang penyakit, aku
termasuk yang jarang menderita sakit. Baik itu sekedar flu, demam atau panas,
bahkan sampai pada penyakit parah sekalipun. Tapi lihatlah sekarang. Aku tidak
hanya diberikan penyakit, aku juga diberikan beban mental melalui kuliahku yang
hancur. Bahkan kehancuranku kali ini lebih dari sekedar hancur lebur. Aku terpuruk
melebihi batas normal, aku cair melewati batas didih. Sungguh, kehancuran ini
terjadi tanpa cela, begitu sempurna.
“selalu ada hikmah dari semua
cobaan.”
Kebiasaanku berfikir negatif,
berprasangka buruk, tidak berani aku terapkan kepada Tuhan. Aku mencoba meraup
sebanyak-banyaknya “keuntungan” dari apa yang Tuhan berikan, walaupun dari tampilannya,
masalah ini seperti tidak berujung. Karna dengan mengeluh, apalagi memaki Tuhan
dengan jalan hidup yang telah dipilihkan-Nya tidak akan menjernihkan keadaan,
sebaiknya kuhadapi saja. Jika badai dahsyat saja bisa berlalu, tentu gerimis
kali ini tidaklah seberapa. Kurang lebih seperti itulah kiasannya.
“Tuhan, ujilah aku semau-Mu, tapi
tolong tangguhkan diriku. Kuatkan bahuku menopangnya atau pinjamkan padaku bahu
seseorang untukku bersandar melepas lelah diri.”
Rasa sakit yang diderita adalah cara
menggugurkan dosa-dosa masa lalu. Aku bukan manusia yang bersih, sempurna
seutuhnya. Aku bersama angkuhku, selalu merasa lebih baik dari orang lain,
tidak bersedia menerima kritikan, rutin mencari kesalahan orang, kali ini terjerembab
oleh ego-ku sendiri. Papa meminta aku untuk memaafkan semua orang yang
menyakitiku dan meminta maaf kepada siapa saja yang pernah kusakiti. Orang
pertama yang kudatangi adalah mama. Rasanya bolehlah aku sedikit bersyukur
dengan sikapku saat itu. Se-egois apapun aku, aku tidak malu mengulurkan,
menjabat tangan mama dan menempelkannya dipipiku, lalu berkata, “ma, maafkan
aku”. Pemandangan mulai buram karna mata yang berkaca-kaca. Tubuh yang lemah
ini terasa berenergi kembali dalam pelukan wanita itu, mama tercinta.
“bersabar adalah bagian dari obat”
“ini adalah keadaan setelah beberapa minggu sakit dan istirahat dirumah.
Akhirnya bisa lagi datang kekampus menyelesaikan masalah kuliah yang masih
terbengkalai. Aku sedang berada di Mesjid kampus. Tampak agak pucat, dan
beberapa jerewat akibat dari alergi obat vertigo yang kuminum. Foto ini diambil
oleh Rizalliza Ariyanti, seorang senior di jurusan Matematika”
Jarang mengalami sakit, membuatku
tidak tau seperti apa prosedur berobat dirumah sakit, diklinik, atau ditempat
pengobatan dimana saja. Berangkat dari rumah jam 8 malam setelah sholat Isya,
mendapati jalanan basah dan becek karna hujan deras yang tidak kunjung
berhenti, sampai akhirnya kembali pulang kerumah jam 10 malam masih dalam
kondisi hujan deras. Semua aku jalani bersama mama. Hanya mama dan orang yang
mencintaiku yang tau betapa berat penyakit vertigo ini kuhadapi. Sisanya, hanya
sekedar ingin tau dan mengangguk bahkan ada yang dengan lantang seperti
menganggap aku sedang melakukan omong kosong seraya mengada-ada.
Aku pernah bercerita kepada
seseorang tentang penyakitku, menceritakan semua yang aku rasakan dengan
terperinci. Aku tidak sedang berusaha mendramatisasi suasana atau mencoba
mengarang indah ditelinganya, tapi apa yang kudapat? “Hemmm, banyak sekali
penyakitnya ya? Trus apa lagi penyakitnya? Udah ada vertigo, serangan panic,
scoliosis, maag, trus apalagi?” dia mengucapkan itu dengan wajah seolah-olah
menilai ucapanku hasil imajinasi. Aku tau betul apa yang ada dikepalanya saat itu. Seandainya
dia tau, aku tidak pernah butuh belas kasihan darinya, sedikitpun tidak! Setelah
mendengar kalimat yang menghancurkan tadi, sontak hatiku ingin sekali
mengutuknya, meminta pada Tuhan semoga suatu saat dia menempati posisiku saat
ini. Sebelum kutukan itu kunyatakan, teringat pesan papa ditelfon sebelumnya, “maafkan siapa saja yang menyakitimu, tak
perlu mengotori hati dan lidahmu membalas mereka yang berbuat jahat. Allah tau
balasan mana yang terbaik untuk mereka. Maafkan. Ikhlaskan”. Peringatan
dari papa mengubah kutukan menjadi do’a sederhana untuknya, “Ya Allah, maafkan dia, sehatkan dia,
panjangkan umurnya. Jangan biarkan dia menjadi seperti dan merasakan
penyakitku”.
* * * * *
Dan, apa kabar dengan kuliahku? Jawabannya diwakilkan
oleh dua kata, GAGAL TOTAL! Ya, sekali lagi aku katakan, gagal total. Aku harus
melupakan tujuh mata kuliahku semester ini, dan tidak satupun bisa aku
pertahankan. Menyedihkan bukan? Memang. Rencana ingin lulus dalam 4 tahun kini
menjadi mimpi indah yang tentu tak mungkin terwujud. Sulit bagiku menjelaskan
pada orangtua bahwa aku tidak bisa menepati janjiku sebelumnya. Untuk menghibur
diri, aku mengorek-ngorek hikmah apa yang ada didalam keamburadulan ini. Pertama,
aku ingin lulus tepat waktu sementara Tuhan ingin aku lulus diwaktu yang tepat.
Dan rencana Tuhan tidak pernah didasarkan pada hipotesis yang salah, bukan?
Kini, walau terjatuh aku harus bangun dan kembali berlari. Tidak ada waktu
melihat kebelakang karna aku ingin memperbaiki masa depan.
“Ini
adalah satu dari tujuh mata kuliah semester lima yang tidak bisa dipertahankan.
Padahal kuliah Paper Thesis Writing ini adalah mata kuliah menulis yang kusukai.
Aku sudah melaksanakan Mid Semester bersama teman-teman. Tapi sayang, semua
yang pernah aku tulis pada mata kuliah ini harus kusimpan untuk kembali diulang
pada semester tujuh. Insya Allah.”
Selanjutnya, aku ingin cepat-cepat
keluar dari kampus dan diwisuda sementara kemampuanku masih belum memenuhi
persyaratan. Kuliah itu bukan tentang menjadi sarjana dengan tambahan gelar.
Jika kuliah untuk mencari gelar, mungkin banyak cara mendapatkannya. Menurutku,
kuliah untuk menemukan ilmu. Selama kuliah, aku tidak pernah complain dengan
nilai C, atau nilai D yang pernah diberikan dosen. Tidak ada pembelaan untuk
nilaiku yang buruk itu, apalagi sampai-sampai mencari dosen dan meminta beliau
menjelaskannya. Jangan harap itu terjadi.
Yang penting itu adalah ilmunya,
nilai hanyalah bonus. Oke, hari ini aku mendapatkan nilai A pada mata kuliah
Speaking sementara aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris
dengan baik dan benar. Bukankah itu lebih memalukan dibanding mendapat nilai D?
Tidak perlu munafik juga, nilai memang penting tapi tak berarti segalanya.
Dosen pun tidak akan sembarangan memberikan nilai jelek kepada mahasiswanya.
Kalaupun mereka melakukannya, mereka yang bertanggung jawab penuh atas ketidak
adilan itu. Diberi nilai jelek adalah peringatan. Aku diingatkan untuk lebih
serius dalam kuliah. Semester tiga kemaren, aku pernah diberi nilai D pada mata
kuliah Writing II karna aku tidak masuk kuliah selama 4 kali. Ya sudah,
semester lima aku mengulang mata kuliah itu masih dengan dosen yang sama. Tidak
ada dendam, tidak ada niat buruk, tidak ada masalah dan tidak ada keinginan
untuk pilih-pilih dosen. Kuliah itu adalah perjalanan panjang dengan medan yang
terus menanjak, tidak ada turunannya. Dan selalu beruntung dalam setiap
tanjakan, itu tidak seru! Kadang aku harus jatuh, kalah terluka, dan
terpeleset. Merasa kalah dan hancur tidak pernah terasa semanis ini sebelumnya.
Terasa manis karna semua hikmah telah diraih. Terima kasih Tuhan, terima kasih
untuk ujian-Mu tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar