Sabtu, 08 Februari 2014

Lebih Dari Sekedar Hancur Lebur

Diposting oleh AKSARA di 05.40
belum diakui kekuatan seseorang yang mengaku-ngaku dirinya beriman sementara dia belum pernah diperkenalkan pada realita yang menyakitkan, realita yang banyak menguras airmatanya”
Tahun 2013 aku habiskan dengan pelajaran yang tidak pernah kuterima disekolah, dikampus, atau dirumah bahkan dimana saja. Pelajaran ini datang langsung dari kehidupan dan yang memberikan kehidupan itu sendiri. Tuhan, Dzat yang aku takuti sekaligus aku abaikan selama ini memberi sedikit ujian. Menguji  seberapa tabah hatiku, dan seberapa tangguh bahuku memikulnya serta seberapa minim lisanku mengeluh selama masa uji coba. Ini adalah fase tersulit. Aku sadar ini adalah skenario terburuk dari Sang Sutradara. Sebagai  pemain, aku hanya bisa menjalanku karakterku dengan baik, seperti yang Sutradara inginkan.
Bicara tentang penyakit, aku termasuk yang jarang menderita sakit. Baik itu sekedar flu, demam atau panas, bahkan sampai pada penyakit parah sekalipun. Tapi lihatlah sekarang. Aku tidak hanya diberikan penyakit, aku juga diberikan beban mental melalui kuliahku yang hancur. Bahkan kehancuranku kali ini lebih dari sekedar hancur lebur. Aku terpuruk melebihi batas normal, aku cair melewati batas didih. Sungguh, kehancuran ini terjadi tanpa cela, begitu sempurna.
selalu ada hikmah dari semua cobaan.”
Kebiasaanku berfikir negatif, berprasangka buruk, tidak berani aku terapkan kepada Tuhan. Aku mencoba meraup sebanyak-banyaknya “keuntungan” dari apa yang Tuhan berikan, walaupun dari tampilannya, masalah ini seperti tidak berujung. Karna dengan mengeluh, apalagi memaki Tuhan dengan jalan hidup yang telah dipilihkan-Nya tidak akan menjernihkan keadaan, sebaiknya kuhadapi saja. Jika badai dahsyat saja bisa berlalu, tentu gerimis kali ini tidaklah seberapa. Kurang lebih seperti itulah kiasannya.
Tuhan, ujilah aku semau-Mu, tapi tolong tangguhkan diriku. Kuatkan bahuku menopangnya atau pinjamkan padaku bahu seseorang untukku bersandar melepas lelah diri.”
Rasa sakit yang diderita adalah cara menggugurkan dosa-dosa masa lalu. Aku bukan manusia yang bersih, sempurna seutuhnya. Aku bersama angkuhku, selalu merasa lebih baik dari orang lain, tidak bersedia menerima kritikan, rutin mencari kesalahan orang, kali ini terjerembab oleh ego-ku sendiri. Papa meminta aku untuk memaafkan semua orang yang menyakitiku dan meminta maaf kepada siapa saja yang pernah kusakiti. Orang pertama yang kudatangi adalah mama. Rasanya bolehlah aku sedikit bersyukur dengan sikapku saat itu. Se-egois apapun aku, aku tidak malu mengulurkan, menjabat tangan mama dan menempelkannya dipipiku, lalu berkata, “ma, maafkan aku”. Pemandangan mulai buram karna mata yang berkaca-kaca. Tubuh yang lemah ini terasa berenergi kembali dalam pelukan wanita itu, mama tercinta.
bersabar adalah bagian dari obat”

ini adalah keadaan setelah beberapa minggu sakit dan istirahat dirumah. Akhirnya bisa lagi datang kekampus menyelesaikan masalah kuliah yang masih terbengkalai. Aku sedang berada di Mesjid kampus. Tampak agak pucat, dan beberapa jerewat akibat dari alergi obat vertigo yang kuminum. Foto ini diambil oleh Rizalliza Ariyanti, seorang senior di jurusan Matematika”

Jarang mengalami sakit, membuatku tidak tau seperti apa prosedur berobat dirumah sakit, diklinik, atau ditempat pengobatan dimana saja. Berangkat dari rumah jam 8 malam setelah sholat Isya, mendapati jalanan basah dan becek karna hujan deras yang tidak kunjung berhenti, sampai akhirnya kembali pulang kerumah jam 10 malam masih dalam kondisi hujan deras. Semua aku jalani bersama mama. Hanya mama dan orang yang mencintaiku yang tau betapa berat penyakit vertigo ini kuhadapi. Sisanya, hanya sekedar ingin tau dan mengangguk bahkan ada yang dengan lantang seperti menganggap aku sedang melakukan omong kosong seraya mengada-ada.
Aku pernah bercerita kepada seseorang tentang penyakitku, menceritakan semua yang aku rasakan dengan terperinci. Aku tidak sedang berusaha mendramatisasi suasana atau mencoba mengarang indah ditelinganya, tapi apa yang kudapat? “Hemmm, banyak sekali penyakitnya ya? Trus apa lagi penyakitnya? Udah ada vertigo, serangan panic, scoliosis, maag, trus apalagi?” dia mengucapkan itu dengan wajah seolah-olah menilai ucapanku hasil imajinasi. Aku  tau betul apa yang ada dikepalanya saat itu. Seandainya dia tau, aku tidak pernah butuh belas kasihan darinya, sedikitpun tidak! Setelah mendengar kalimat yang menghancurkan tadi, sontak hatiku ingin sekali mengutuknya, meminta pada Tuhan semoga suatu saat dia menempati posisiku saat ini. Sebelum kutukan itu kunyatakan, teringat pesan papa ditelfon sebelumnya, “maafkan siapa saja yang menyakitimu, tak perlu mengotori hati dan lidahmu membalas mereka yang berbuat jahat. Allah tau balasan mana yang terbaik untuk mereka. Maafkan. Ikhlaskan”. Peringatan dari papa mengubah kutukan menjadi do’a sederhana untuknya, “Ya Allah, maafkan dia, sehatkan dia, panjangkan umurnya. Jangan biarkan dia menjadi seperti dan merasakan penyakitku”.
*             *             *             *             *
Dan, apa  kabar dengan kuliahku? Jawabannya diwakilkan oleh dua kata, GAGAL TOTAL! Ya, sekali lagi aku katakan, gagal total. Aku harus melupakan tujuh mata kuliahku semester ini, dan tidak satupun bisa aku pertahankan. Menyedihkan bukan? Memang. Rencana ingin lulus dalam 4 tahun kini menjadi mimpi indah yang tentu tak mungkin terwujud. Sulit bagiku menjelaskan pada orangtua bahwa aku tidak bisa menepati janjiku sebelumnya. Untuk menghibur diri, aku mengorek-ngorek hikmah apa yang ada didalam keamburadulan ini. Pertama, aku ingin lulus tepat waktu sementara Tuhan ingin aku lulus diwaktu yang tepat. Dan rencana Tuhan tidak pernah didasarkan pada hipotesis yang salah, bukan? Kini, walau terjatuh aku harus bangun dan kembali berlari. Tidak ada waktu melihat kebelakang karna aku ingin memperbaiki masa depan.

“Ini adalah satu dari tujuh mata kuliah semester lima yang tidak bisa dipertahankan. Padahal kuliah Paper Thesis Writing ini adalah mata kuliah menulis yang kusukai. Aku sudah melaksanakan Mid Semester bersama teman-teman. Tapi sayang, semua yang pernah aku tulis pada mata kuliah ini harus kusimpan untuk kembali diulang pada semester tujuh. Insya Allah.”

Selanjutnya, aku ingin cepat-cepat keluar dari kampus dan diwisuda sementara kemampuanku masih belum memenuhi persyaratan. Kuliah itu bukan tentang menjadi sarjana dengan tambahan gelar. Jika kuliah untuk mencari gelar, mungkin banyak cara mendapatkannya. Menurutku, kuliah untuk menemukan ilmu. Selama kuliah, aku tidak pernah complain dengan nilai C, atau nilai D yang pernah diberikan dosen. Tidak ada pembelaan untuk nilaiku yang buruk itu, apalagi sampai-sampai mencari dosen dan meminta beliau menjelaskannya. Jangan harap itu terjadi.
Yang penting itu adalah ilmunya, nilai hanyalah bonus. Oke, hari ini aku mendapatkan nilai A pada mata kuliah Speaking sementara aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan baik dan benar. Bukankah itu lebih memalukan dibanding mendapat nilai D? Tidak perlu munafik juga, nilai memang penting tapi tak berarti segalanya. Dosen pun tidak akan sembarangan memberikan nilai jelek kepada mahasiswanya. Kalaupun mereka melakukannya, mereka yang bertanggung jawab penuh atas ketidak adilan itu. Diberi nilai jelek adalah peringatan. Aku diingatkan untuk lebih serius dalam kuliah. Semester tiga kemaren, aku pernah diberi nilai D pada mata kuliah Writing II karna aku tidak masuk kuliah selama 4 kali. Ya sudah, semester lima aku mengulang mata kuliah itu masih dengan dosen yang sama. Tidak ada dendam, tidak ada niat buruk, tidak ada masalah dan tidak ada keinginan untuk pilih-pilih dosen. Kuliah itu adalah perjalanan panjang dengan medan yang terus menanjak, tidak ada turunannya. Dan selalu beruntung dalam setiap tanjakan, itu tidak seru! Kadang aku harus jatuh, kalah terluka, dan terpeleset. Merasa kalah dan hancur tidak pernah terasa semanis ini sebelumnya. Terasa manis karna semua hikmah telah diraih. Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk ujian-Mu tahun ini.


0 komentar:

Posting Komentar

 

A K S A R A Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea