“Silahkan tugasnya
dikumpulkan dimeja saya.”
Aku saksikan
teman-teman dengan senang hati mengumpulkan tugas yang diberikan oleh dosen
minggu kemaren. Sementara aku dengan ugal-ugalan mengumpulkan milikku yang
tampak sangat “aneh” dari yang lainnya. Dosen hanya menatapku dingin dan
membiarkan aku duduk kembali ketempat semula. Tidak lama setelah itu tugas yang
dikumpulkan digabungkan dan dibagikan kepada tiap mahasiswa. Sejauh mata
memandang, aku tak menemukan tugas yang aku buat barusan. Apakah aku
benar-benar sudah meletakkannya diatas meja dosen, atau dosen itu yang lupa
membaurkan tugasku dengan tugas yang lain? Bingung.
Dengan santainya aku
tidak bertanya kenapa milikku tidak ada disitu. Aku tetap menjalani
perkuliahan seakan-akan tidak ada yang
terjadi. Sampai pada akhirnya aku ingin pergi kekamar kecil dan melihat hal
yang sangat mengejutkan. Tentu saja tugas yang aku berikan hari ini tidak aku
temukan disana, melainkan ada disini, di
TEMPAT SAMPAH! LUAR BIASA!
Kaget? Sudah pasti.
Namun aku yang sudah terbiasa cuek sejak dalam kandungan menganggap hal itu tak
perlu terlalu dipikirkan. Walaupun pada dasarnya, mahasiswi mana yang tidak
marah melihat tugas yang ia buat hanya untuk dibuang di tempat sampah? Ha? Aku
ini kan hanya mahasiswi biasa yang tak punya kuasa dan kendali. Suka tidak
suka, nikmati saja. Ini terjadi di mata kuliah Grammar I. Disemester pertama
banyak rekan-rekanku yang beranggapan bahwa aku adalah mahasiswa yang tidak
perhatian, cuek luar biasa dan aku tak punya niat untuk kuliah. Tapi opini
hanyalah opini, dan aku membebaskan mereka-meraka itu bahagia bersama opininya.
Karna seperti apapun sebuah opini, kadar keakuratannya begitu lemah.
Kuliah Grammar I itu
adalah mata kuliah yang cukup menyiksa menurutku. Bukan karna mata kuliahnya
yang terhitung rumit bagi pemula, bukan juga karna dosennya yang tidak seru,
melainkan karna “metode pengajaran” yang terkesan satu arah dan meminta
mahasiswa untuk bersikap pasif. Dan itulah yang membuat aku bosan ada ditempat itu.
Jujur saja, selama mata kuliah itu berlangsung, kurang lebih 150 menit, aku
bisa 6x keluar masuk ruangan. Diluar ruangan aku biasanya duduk dilobi gedung,
jalan-jalan dikoridor kampus, beli makanan ringan dan kalo sempat masuk juga ke
kamar kecil. Hahahaha…
* * * * *
“Shinta Winanda,
silahkan kamu duduk didepan selama ujian Mid Semester berlangsung…”
“Baik Umi…”
Dosen itu tampak
bingung dengan jawabanku yang ramah dan tidak berisi pemberontakan karna
diposisikan ditempat paling depan selama ujian. Sikap santaiku banyak membuat
yang lainnya bertanya-tanya, “apakah dia tidak khawatir tidak bisa mencontek
dengan teman yang lain?” Khawatir? Sedikitpun tidak. Tidak ada yang aku
takutkan dimana dosen akan menempatkan aku selama masa ujian, asalkan aku tidak
diusir saja keluar kelas. Selama ujian, aku mendapatkan perhatian penuh dari
dosen. Seperti biasa, bagiku berdirinya seorang dosen tepat di depanku bukanlah
perkara rumit. Aku tidak takut. Apakah dia akan berdiri didepan, disamping
kanan, disamping kiri, tak masalah. Bukannya aku angkuh, namun aku merasa tak
memiliki alasan untuk rasa takut yang berlebihan. Toh dosenku adalah wanita
yang baik, sikapnya saja begitu keibuan, dan nada suaranya pun aku tak pernah
keras. Jadi, untuk apa takut?
* * * * *
Seminggu setelah ujian
mid selesai, kami menerima lembar jawaban yang dibagikan didalam kelas. Banyak
orang mendapatkan nilai yang tidak memuaskan bahkan hampir setengah dari jumlah
keseluruhan. Bahkan para “kutu buku” dan “sianak manis” pun tidak luput dari
nilai jelek. Mereka-mereka yang sangat diperhitungkan didalam kelas saja kedudukannya
menjadi anjlok di ujian mid ini. Lalu bagaimana dengan aku? Yang menjadi patokannya
adalah, jika mereka yang rajin saja dapat nilai seperti itu, berarti aku
berpeluang besar mendapatkan lebih rendah dari itu. Bagaimana tidak, dosen itu
dengan senang hati mengirim tugasku ketempat sampah, dan aku juga berkali-kali
datang terlambat, ditambah aku suka keluar masuk ruangan. Lengkap sudah
segalanya.
* * * * * *
“Cie… Shinta nilainya
termasuk yang terbaik tuh…” Apa? Nilai terbaik? Benarkah? Oh, aku benar-benar
tidak memprediksi sebelumnya. Aku? Nilai terbaik? Sungguh? Berkali-kali aku
bertanya pada diri sendiri dan teman-teman. Tidak ada yang menyangka bahwa aku
akan mendapatkan hasil seperti ini, dan tidak juga dengan dosennya. Tapi tunggu
dulu, ada sesuatu yang special
dilembar jawabanku,
“Buktikan kemampuan you
nanti!”
Seumur-umur, baru kali
ini ada yang menulis dengan ketus dilembar jawabanku. Yang menjadi pertanyaannya
adalah, alasan apa yang dipakai oleh dosen itu? apakah aku terlihat seperti
mahasiswa yang tidak memiliki potensi? Aku terlihat seperti tidak memiliki
kemampuan? Sekarang lihat! Lihat yang aku lakukan. Aku mengerjakannya sendiri,
aku diawasi dengan ketat dan aku dijadikan yang paling istimewa dengan
mendapatkan “kalimat motivasi” ini. Dan akhirnya? AKU BERHASIL!
Aku berhasil menjadi
yang terbaik dengan menjalankan prosedurku sendiri, aku berhasil memaksa diriku
untuk menjadi lebih unggul, dan yang terpenting adalah aku telah berhasil
membuat seseorang merasa sangat bersalah dengan penilaian buruknya selama ini
terhadapku. Dan seseorang itu tidak bisa berkutik lagi kemudian pasrah pada
kenyataan bahwa aku tak seburuk yang dia pikir. Ini bisa jadi bahan pelajaran tambahan bagi seseorang yang dengan
sangat gampang memfonis mahasiswanya tidak memiliki potensi. Pertemuan baru
berlangsung beberapa kali, namun penilaiannya seakan-akan sudah kenal selama
bertahun-tahun.
Setelah kejadian itu
aku belajar banyak dari cara orang memperlakukanku. Kebanyakan calon juara
adalah dia yang sering diasingkan, tak diperhitungkan, dan tak dikenal. Dan
inilah cara terbaik memperkenalkan siapa diriku kepada mereka melalui kekuatan
yang aku miliki. Aku tidak bilang bahwa aku adalah manusia cerdas, namun satu
hal yang harus aku teriakkan pada orang-orang itu adalah bahwa aku tak selemah
yang ada dalam pemikiran meraka.
0 komentar:
Posting Komentar