Sabtu, 08 Februari 2014

Selamat Datang di Semester Baru

Diposting oleh AKSARA di 06.13 0 komentar


Selamat Datang di Semester Baru…

Udah lama juga gue ga nulis di blog ini. Kalo biasanya tulisan gue formatnya formal sangat, kali ini boleh donk ya gue pake format yang agak beda dikit. Kan disini yang bakal baca juga kita-kita aja, atau sekurang-kurangnya antara lu dan gue lah. Oke.
Dibaca dari judulnya aja, udah mulai mules kepala ini. Ya, selamat datang di semester baru itu sama artinya dengan selamat datang dikeaadaan KRITIS. Banyak temen-temen gue yang minta perpanjangan libur semester, bahkan saking gak mau kembalinya kekampus, meraka minta liburan diperpanjang sampai akhir taun. Kenapa ga ngurus cuti kuliah aja sekalian!  Tapi ya sudahlah, gue dan temen-temen yang seperti itu sudah sangat maklum. Gua sudah sangat terbiasa dengan segala hal yang tidak waras yang kerap mereka lakukan.
Bagi gue sendiri, semester baru itu menarik. Menarik karna gue berhak mempersiapkan resolusi apa yang akan gue tulis untuk kedepannya. Baik itu jangka pendek atau jangka panjang. Sebagai mahasiswa yang terhitung tidak muda lagi, gua harus lebih serius daripada semester kemaren. Berikut ini adalah beberapa resolusi rancangan gue untuk semester ini :
  1. Datang tepat waktu
Bisa datang tepat waktu adalah keajaiban buat gue. Gue sendiri gak tau penyakit suka ngaret ini gua wariskan dari siapa. Kalo misalnya gue bilang akan datang jam 10, it means gue akan datang 30 menit setelah waktu yang dijanjikan. Kalo gue bilang “sebentar lagi” itu artinya “45 menit” lagi. Kalo gue boleh mempermalukan diri sendiri, gue akan mengakui kalo gue pernah diusir dua kali berturut-turut oleh dosen yang sama. Lalu apakah gue jera? Sedikitpun tidak! Hahahah.
Tapi gue gak boleh terlalu lembut pada diri ini. Gue akan bersikap sangat tengas mulai semester depan. Gue akan datang sekurang-kurangnya 15 menit sebelum jadwal yang tentukan. Tidak peduli apakah dosen itu datangnya telat atau gak, yang penting gue udah duduk manis didalam ruangan. Karna gue takutnya sama dosen yang on time tingkat dewa. Masya Allah, itu sesuatu banget. Tapi gua menghargai dosen yang seperti itu, berarti dia menghargai waktu. Menghargai waktu, sama dengan menghargai uang.
  1. Tepat waktu mengumpulkan tugas
Gue paling suka mengundur-undur waktu. Semboyannya adalah jika masih ada hari esok, kenapa harus dilakukan hari inii?”  ini adalah semboyan yang gue anut selama menjadi mahasiswa. Tugas akhir yang diberikan masa tenggang selama sebulan, bisa gue kerjakan hanya dalam seminggu. Kebanyakan temen-temen gue rela begadang demi tugas. Sementara gue? Gue adalah orang yang egois, dan gue tidak akan pernah mengorbankan diri ini demi tugas. Apalagi begadang. Gue lebih suka tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Dengan begitu pikiran jadi lebih segar dan kesehatan pun tidak menurun. Semester yang lalu, rata-rata semua tugas gue tetap dikumpul on time, tapi pengerjaannya kurang maksimal.
Walaupun dikerjakan setengah fokus, tugas yang gue kerjakan masih sering dihargai dengan huruf A atau B. Tapi disemester ini, gue ingin lebih bersungguh-sungguh. Tugas itu gak sekedar tentang nilai. Gue berniat mengerjakannya tepat waktu dan sepenuh hati. Ehehehe…
  1. Rajin bertanya dan aktif dikelas
Kebanyakan metode kuliah yang dipakai saat ini adalah metode diskusi dan presentasi. Dosen mengiming-imingi nilai tambahan bagi siapa yang rajin bertanya. Tidak dijelaskan persyaratan dari pertanyaan yang diajukan. Asalkan mahasiswa bertanya, mereka mendapat tambahan nilai. Walaupun lu menanyakan “Pak, kapan kita pulang?” lu akan tetep diberikan nilai. Wah keren banget nih! Banyak  mahasiswa yang getol-getolnya mengajukan pertanyaan kepada tim penyaji. Dan jenis pertanyaan ini pun berbeda beda. Mulai dari bertanya hanya untuk mendapatkan nilai, bertanya lantaran tidak mengerti, bertanya karna ingin mengukur seberapa pintar tim penyaji, sampai pada pertanyaan yang tidak berbobot dan tidak bergizi. Ini juga yang membuat gue jarang bertanya dan terlihat tidak aktif dikelas. Dosen gue bilang kalo gue mahasiswa yang pasif, sering duduk dibelakang, jarang ikut nimbrung diskusi. Akhirnya gue jelaskan. Gue hanya akan bertanya ketika semua sumber yang gue baca dan gue dengar tidak memberikan pencerahan. Gue ga suka yang namanya bertanya hanya untuk memojokkan teman. Buat apa juga gue mengajukan pertanyaan kalo gue sendiri bisa menjawabnya. Lagian, kalo gue ingin jawaban yang piter, otomatis gue harus menanyakan sesuatu yang cerdas donk ya?
Pernah waktu itu, gue bertanya pada tim penyaji yang anggotanya senior semua. Pertanyaan gue ga keluar dari pembahasan kok, gue juga bertanya karna gue ga ngerti sama sekali. Setelah gue bertanya, jawaban yang gue dapat dari dosen gue adalah “Anda seharusnya bertanya berdasarkan apa yang dipresentasikan oleh penyaji. Bukan berdasarakan apa yang Anda baca!”
Jujur sejak saat itu gue jadi anti dan paling benci bertanya-tanya. Kalo dosennya menjawab pertanyaan gue dengan kalimat seperti itu, tentunya gue juga akan perfikir, “ternyata selama ini gue gak diperbolehkan menjadi orang bodoh dengan bertanya tentang apa yang gue gak tau. Gue di tuntut untuk menjadi pintar setiap waktu. Atau jangan-jangan orang ini yang tidak secerdas yang gue prediksi.” Tapi itukan masa lalu, gue kasihan aja sama dosen itu yang menutupi ketidaktahuannya dengan mempermalukan gue didepan umum seperti itu. Gue berharap semester ini gak ketemu lagi sama yang begituan. Ngeri.
  1. Mengulang kembali pelajaran
Selama kuliah gua bisa dibilang jarang sekali mengulang pelajaran dirumah. Walaupun seminggu lagi bakal ada UAS, gue tetep gak pernah belajar malam hari sebelum ujian. bukannya sombong ya, gue juga gak pinter-pinter banget. Tapi untuk mengulang pelajaran, gua memang sulit melakukannya. Jalan lainnya adalah, ketika dosen menyampaikan materi kuliah,  gue gak mau ngobrol sama tetangga sebelah. Perhatian gue fokus mendengarkan dan memahami penjelasan yang dosen sampaikan. Gue lebih suka memahami pelajaran dari pada menghafalnya. Karna ketika gue memahaminya, dimanapun dan kapanpun gue akan tetep bisa menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa gue sendiri. Sedangkan kalo menghafal, akan lebih cepat lupanya. Tapi gak semua mata kuliah hanya cukup dengan dipahami. Ada juga yang harus dihafal, seperti grammar misalnya. Mungkin semester ini gue akan lebih banyak belajar untuk memperbaiki grammar gue yang belum sempurna. Sampai sekarang gue belum tau dosen mana yang bakal gue pilih untuk belajar grammar.
  1. Menjaga kesehatan
Ini adalah resolusi yang dengan sengaja gue posisikan dibagian akhir. Karna kalo resolusi yang satu ini gagal, maka gagal lah semua resolusi yang gue tulis sebelumnya. Kesehatan itu bener-bener harus dijaga. Karna sekali aja lu sakit, terserah mau menderita penyakit apa, maka lu akan kehilangan banyak hal. Contohnya, ketika lu sakit, lu akan kehilangan semangat belajar, kehilangan selera makan, kehilangan banyak waktu untuk tiduran dikamar, kehilangan ibadah-ibadah sunnah dan yang terakhir kehilangan banyak biaya. Jadi, untuk hidup sehat itu gak sulit kok. Makan yang teratur, olahraga rutin, menjalani hoby dan jangan terlalu stress.
Gue gak ingin kejadian disemester kemaren terulang lagi, semua gagal hanya karna sikap negatif yang gue idap. Tapi kali ini, semoga gue bisa menjalankan pola hidup sehat yang sudah gue mulai sejak tiga bulan yang lalu. Aamiin…


 Bersama Yessiva Neida, Deny Mardiati  yang sedang menunggu dosen kuliah Adv. Grammar
Bersama Nurrahman, Yessiva dan Maria dikelas Seminar On Teaching Language :)

Jogjakarta

Diposting oleh AKSARA di 05.49 0 komentar
Delapan tahun yang lalu, tahun 2007, saya meninggalkan kota Padang dan menetap di Jogjakarta demi melanjutkan pendidikan. Adik papa, meminta saya untuk mengambil jurusan tata busana, agar ada penerus Om, yang berprofesi sebagai perancang busana muslim wanita. Tapi saya menolaknya dengan alasan, saya tidak punya bakat yang dibidang itu. Apa jadinya saya menekuni satu bidang yang tidak saya sukai? Pasti tidak akan pernah berhasil, saya rasa. Saya   memilih Administrasi perkantoran sebagai pilihan akhir. Memenuhi semua hal-hal yang dibutuhkan, mulai dari legalisir ijazah, surat keterangan pindah dari dinas, surat kesehatan, sampai pada surat bebas narkoba. Siswa baru yang datang dari luar daerah, terlebih dari luar pulau, diharuskan menyerahkan surat bebas narkoba dengan alasan banyaknya remaja saat ini yang sudah menjadi pemakai dan pengedar diusia sekolah. Oke, untuk yang satu ini saya tidak bisa memenuhinya, semua karna waktu yang diberikan terlalu sempit. Saya tidak tau dimana rumah sakit yang ada disana, sedangkan dua hari lagi hari pertama sekolah akan dimulai. Waktu dua hari itupun dirasa tidak cukup, karna banyak yang haruas diurus. Ada seragam sekolah dari yayasan yang belum sempat dijahit, buku tulis dan alat-alat tulis yang belum sempat dibeli, dan perlengkapan MOS lainnya. Segalanya memang serba mendadak, bagaimana tidak, rencana untuk sekolah di Jogja pun didasarkan pada perancanaan yang juga mendadak.
Masalah administrasi akhirnya bisa diselesaikan juga, dengan menjelaskan alasan bahwa waktu yang diberikan tidak cukup, maka pihak yayasan bisa memaklumi dan memberikan tenggang waktu kepada saya untuk melengkapi berkas-berkas yang kurang. 

Kini kita bicara tentang masalah keuangan. Ya, ini masalah yang agak sensitif untuk diceritakan. Tahun 2006, orang tua saya, papa dan mama di berhentikan secara massal oleh perusahaan yang kurang lebih 25 menjadi tempat bekerja mereka. Alasannya adalah, perusahaan yang semula diurus oleh warga Korea, kini beralih ketangan warga China. Berjalan beberapa tahun, perusahaan mulai mengalami masa krisis, dan akhirnya, berhenti total! Papa dan mama yang sewaktu itu menjadi pengangguran, tentu tidak bisa membiayai uang sekolah saya. Itulah kenapa om, menyuruh saya ke Jogja dan meminta saya sekolah disana.
Sewaktu saya dan papa ditanya pihak yayasan, apa pekerjaan orang tua saya, saya tidak tau harus menjawab apa. Papa menjelaskan bahwa beliau baru saja di PHK massal oleh perusahaan itu dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Lalu pihak yayasan menyarankan untuk mengurus “surat miskin” agar saya mendapat keringanan dari yayasan atau mungkin bisa dibebaskan dari uang sekolah dengan syarat-syarat yang berlaku, tentunya. Mendengar saran dari pihak yayasan untuk mengurus surat miskin, saya minta papa untuk menolaknya. Menolak bukan karna saya tidak sudi dibilang miskin dan mencoba bersikap seperti orang kaya raya. Bukan itu. Saya menolak, karna saya merasa ada yang kondisi jauh lebih parah dan memprihatinkan dibanding saya. Papa menolak dengan alasan, “kami tidak bisa dikategorikan miskin. Ini sangat bertentangan dengan hati nurani saya. Saya, istri dan anak saya masih memiliki tempat tinggal yang layak, pakaian yang layak, hanya saya untuk saat ini saya belum menemukan pekerjaan. Hanya itu yang menjadi permasalahannya, buk.” Kepala yayasan bisa maklum, sebagai warga baru, yang harus beradaptasi, izin dan kelonggaran kembali diberikan.

Saya dan teman pertama yang saya temui  di SMK PIRI 3 Yogyakarta, Rista Ningsih. Foto ini diambil dalam rangka perjalan ke Semarang, untuk melihat pabrik textile Sri Rejeki.


*          *          *          *          *
Jogjakarta adalah tempat baru bersama semua hal yang baru yang saya terima. Sadar dengan langit berbeda yang saya junjung, dan bumi baru yang saya injak, semua hal yang biasa saya lakukan, dan adat istiadat yang ada di Padang, harus dirombak sebagian. Kita mulai dari cara berkomunikasi. Di Jogjakarta, saya hampir tidak pernah mendengar adanya teriakan, atau sekurang-kurangnya seseorang yang berbicara dengan nada tinggi. Nyaris tidak pernah. Telinga saya selalu dimanjakan dengan bahasa yang santun dan mendayu-dayu. Tinggal dikawasan keraton, kediaman om yang terletak di Jalan Langenastran Lor no 11 alun-alun kidul, mayoritas warga disana menggunakan bahasa jawa versi “halus”.
Kesulitan pertama yang saya alami adalah, setiap orang yang melihat saya pertama kali selalu menduga bahwa saya adalah asli Jogja dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa daerah.  Padahal, saya asli Minang dan waktu itu saya sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa jawa. Dipasar, dijalanan, ditoko, diwarung, dimana saja saya berada, orang-orang akan langsung menggunakan bahasa jawa memulai percakapannya. Saya jelaskan pada mereka bahwa saya ini adalah warga pendatang dan saya berasal dari Padang. Banyak dari mereka yang terkejut, lalu kembali bertanya, “ah, ojo ngapusi mbak e. kok ketok e mbak e kuwi sami mawon karo wong kene e”. Saya hanya membalas dengan senyuman, sebab saya tidak paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. 

Beralih membicarakan makanannya. Ini adalah perbedaan yang paling mencolok antara dua tempat yang saya tinggali. Masakan Padang yang ternama karna rasa pedasnya diadu dengan masakan Jogja yang unggul dengan rasa manisnya. Untuk soal makanan, tidak ada masalah. Saya yang tidak suka pedas tentu mudah beradaptasi dengan makanan yang ada disana. Tapi, untuk masalah lauk pauk seperti tahu, tempe, ayam, daging dan ikan, tampaknya kota Padang menang jauh daripada Jogja. Kota Padang yang berposisi dipinggir pantai membuat konsumsi ikan bukanlah perkara rumit, menemukan ikan segar tidak lagi membutuhkan waktu yang lama atau akses yang berbelit-belit. Berbanding terbalik dengan Jogja. Selama saya disana, saya tidak pernah menemukan ikan segar yang datang langsung dari laut, yang ada malah ikan yang sudah diberi es yang datang dari luar kota seperti Semarang dan Solo.  
Kediaman om yang ada di alun-alun utara selalu ramai setiap malamnya. Jarak sekitar 20 meter dari rumah, bisa kita temukan berbagai macam jajanan kaki lima mengitari lapangan  dengan dua pohon beringin besar ditengahnya. Wedang ronde, mie ayam, baso, siomay, jus jeruk, bubur ayam, dan semua makanan yang saya tidak tau judulnya berjejeran sampai tengah malam. Selama  disana, saya hanya beberapa kali keluar mencicipi jajanan itu karna tidak ada teman yang bisa diajak jalan selain juga karna tidak suka keluar malam.

*       *       *          *          *
Hal yang serupa juga terjadi pada ramadhan pertama di kota ini. Imsak dan berbuka puasanya lebih cepat 45 menit dibanding kota Padang, bahkan lebih cepat dari Jakarta. Saya sempat kaget dengan kondisi bulan ramadhan pada siang hari. Daerah dengan penduduk yang memiliki jumlah warga muslim dan non-muslim yang seimbang membuat saya menjadi bingung dan bertanya pada diri sendiri, kenapa seperti ini penampakannya? Pagi hari, warung-warung yang bertengger dipinggir alun-alun tetap dibuka dan pengunjung bisa menyantap makanannya dengan lahap. Tidak ada masalah. Sementara di Padang, adalah hal yang ganjil bukan jika ada yang makan diwarung pinggir jalan pada siang hari dibulan Ramadhan? Tapi disore harinya, masjid yang ada disebelah rumah saya selalu mengadakan buka bersama. Siapa saja warga muslim boleh mampir kesana, tidak penting apakah kalian warga setempat atau orang-orang yang sedang berkunjung dari luar. Ada pembagian makanan buka puasa gratis untuk yang sedang berpuasa, ditambah suasana masjid yang nyaman dengan hiasan warna hijau lembut ditiap dindingnya. 

Yang terakhir, saya ingin bercerita tentang gaya hidup mereka. Ada satu hal yang membuat saya sangat suka dengan kota ini. Disana, mereka memakai azaz, “siapa lu, siapa gue”. Barangkali ini terdengar “KEJAM” bagi sebagian orang, tapi saya suka. Bukan karna saya tidak punya perasaan, tidak punya hati, tapi karna saya tidak suka mengurus yang bukan kawasan saya. Tidak ada waktu bagi mereka mengurusi urusan orang lain, apalagi yang tidak mengandung keuntungan untuk mereka. Disana kalian bebas berbuat apa saja, asalkan bertanggung jawab dan tidak melecehkan dan merugikan orang lain. Kebebasannya selalu dikontrol oleh “aturan baku”. Bicara tentang sesuatu tanpa data yang akurat adalah hal yang tidak bisa dipercaya. Ingin bukti? Mari kita ambil contoh pertama. Kalian pasti pernah melihat seseorang yang menatap kalian dari ujung rambut sampai ujung kaki, bukan? Coba saja kalian lakukan hal itu disana, yang ada kalian akan ditampar atau minimal ditanya dengan ketus, “ada apa lu liat-liat? Mau ngajakin ribut? Iya? Ha?”. Mengerikan. Yang kedua, tentang pakaian. Kalau misalkan kalian ketemu orang yang pakaiannya serba hitam, atau serba putih, tidak perlu kalian berkomentar “ini pakaiannya hitam semua? Mau pergi melayat ya, mbak?” atau “ini kenapa semua serba putih, mau praktek dimana?” sekali lagi saya sarankan untuk tidak berkomentar banyak tentang pakaian seseorang. Kalau kalian  berkomentar seperti itu, mereka tidak merasa dipermalukan, yang ada malahan kalian yang akan dianggap norak dan udik. Bagaimana tidak? Orang-orang disana, memang sering menggunakan pakaian serba hitam dimalam hari agar terkesan lebih modis, dan pakaian putih disiang hari, agar panas cahaya matahari dapat terpantul dengan baik. Jadi, orang-orang disana memang tidak doyan ambil pusing untuk urusan pakaian.

Setelah pulang ke Padang, saya kembali menemukan kondisi yang menurut saya sangat abnormal. Kembali lagi saya beradaptasi dengan suara yang keras, tatapan-tatapan aneh, dan mulut-mulut yang serba ingin tau. Tapi bagaimanapun juga, bagaimanapun banyaknya hal-hal seru yang terjadi secara beruntun ditempat itu, saya “harus” lebih mencintai daerah sendiri. Saya mencintai tempat saya yang sekarang, walaupun saya masih belum bisa menerima gaya hidup para penghuninya.

Potret

Diposting oleh AKSARA di 05.45 0 komentar
 Anak-anak itu menyenangkan. Mereka selalu ingin tau tentang sebuah hal. Sama seperti gambar ini, mereka penasaran dan melihat keatas benda apa yang sedang ada diatas kepalanya. Dan, jepreeet, lahirlah gambar yang menarik ini. 


Wajah polos dan anggun ini sangat menakjubkan. Senyum simpul, real, dan tanpa basa-basi. Ah, Salma dan Farrel memang selalu cocok duduk berdua. Si abang dan si adek yang akur setiap saat. 

 Lihat dua bocah itu berlarian tanpa sadar kalau-kalau ada kamera yang mengintai gerak gerik mereka. Lagi-lagi, gambar yang diambil tanpa sengaja memang lebih banyak mengandung pesan.

 Tinggal bertahun-tahun di Kota Padang tapi jarang menjajaki negeri sendiri. Kasihan. Sekali jalan keluar, baru tau kalo kota ini punya banyak tempat untuk memanjakan mata, salah satunya ya jembatan ini, Siti Nurbaya :)

 Pertama kali mengendarai motor disini, jujur awalnya tidak tau ini tempat apa. Pernah kesini, tapi itu waktu masih SD, papa sering membawa aku jalan-jalan sore kesini. Sisanya, tidak pernah aku kunjungi lagi. Kalau tidak salah ini nama tempatnya adalah, Muaro. (Ya, mudah-mudahan saja betul :D)


"Kau tau seperti apa keberadaanmu bagi jiwaku, seperti cahaya matahari pagi. Lembut dan menenangkan" Hahahah... Satuhal yang membuat kita selalu bersyukur adalah masih bisa bangun dari tidur, shalat subuh dan memandangi matahari. 


 Banyak yang bilang hidup sebagai balita lebih menyenangkan. Tidak ada hal serius yang harus difikirkan. Lihat saja si Nona cantik ini, duduk diam dengan santainya bersandar pada kursi rotan dirumah nenek, berpose ditengah-tengah derasnya hujan mengguyur atap rumah.


oh, kaki ini begitu indah dan belum pernah dipakai untuk menginjak tanah. Ah, kakimu itu, membuat aku ingin mencubitnya :D


 Dia itu cantik sih, tapi ga ada rambutnya... :D

Lebih Dari Sekedar Hancur Lebur

Diposting oleh AKSARA di 05.40 0 komentar
belum diakui kekuatan seseorang yang mengaku-ngaku dirinya beriman sementara dia belum pernah diperkenalkan pada realita yang menyakitkan, realita yang banyak menguras airmatanya”
Tahun 2013 aku habiskan dengan pelajaran yang tidak pernah kuterima disekolah, dikampus, atau dirumah bahkan dimana saja. Pelajaran ini datang langsung dari kehidupan dan yang memberikan kehidupan itu sendiri. Tuhan, Dzat yang aku takuti sekaligus aku abaikan selama ini memberi sedikit ujian. Menguji  seberapa tabah hatiku, dan seberapa tangguh bahuku memikulnya serta seberapa minim lisanku mengeluh selama masa uji coba. Ini adalah fase tersulit. Aku sadar ini adalah skenario terburuk dari Sang Sutradara. Sebagai  pemain, aku hanya bisa menjalanku karakterku dengan baik, seperti yang Sutradara inginkan.
Bicara tentang penyakit, aku termasuk yang jarang menderita sakit. Baik itu sekedar flu, demam atau panas, bahkan sampai pada penyakit parah sekalipun. Tapi lihatlah sekarang. Aku tidak hanya diberikan penyakit, aku juga diberikan beban mental melalui kuliahku yang hancur. Bahkan kehancuranku kali ini lebih dari sekedar hancur lebur. Aku terpuruk melebihi batas normal, aku cair melewati batas didih. Sungguh, kehancuran ini terjadi tanpa cela, begitu sempurna.
selalu ada hikmah dari semua cobaan.”
Kebiasaanku berfikir negatif, berprasangka buruk, tidak berani aku terapkan kepada Tuhan. Aku mencoba meraup sebanyak-banyaknya “keuntungan” dari apa yang Tuhan berikan, walaupun dari tampilannya, masalah ini seperti tidak berujung. Karna dengan mengeluh, apalagi memaki Tuhan dengan jalan hidup yang telah dipilihkan-Nya tidak akan menjernihkan keadaan, sebaiknya kuhadapi saja. Jika badai dahsyat saja bisa berlalu, tentu gerimis kali ini tidaklah seberapa. Kurang lebih seperti itulah kiasannya.
Tuhan, ujilah aku semau-Mu, tapi tolong tangguhkan diriku. Kuatkan bahuku menopangnya atau pinjamkan padaku bahu seseorang untukku bersandar melepas lelah diri.”
Rasa sakit yang diderita adalah cara menggugurkan dosa-dosa masa lalu. Aku bukan manusia yang bersih, sempurna seutuhnya. Aku bersama angkuhku, selalu merasa lebih baik dari orang lain, tidak bersedia menerima kritikan, rutin mencari kesalahan orang, kali ini terjerembab oleh ego-ku sendiri. Papa meminta aku untuk memaafkan semua orang yang menyakitiku dan meminta maaf kepada siapa saja yang pernah kusakiti. Orang pertama yang kudatangi adalah mama. Rasanya bolehlah aku sedikit bersyukur dengan sikapku saat itu. Se-egois apapun aku, aku tidak malu mengulurkan, menjabat tangan mama dan menempelkannya dipipiku, lalu berkata, “ma, maafkan aku”. Pemandangan mulai buram karna mata yang berkaca-kaca. Tubuh yang lemah ini terasa berenergi kembali dalam pelukan wanita itu, mama tercinta.
bersabar adalah bagian dari obat”

ini adalah keadaan setelah beberapa minggu sakit dan istirahat dirumah. Akhirnya bisa lagi datang kekampus menyelesaikan masalah kuliah yang masih terbengkalai. Aku sedang berada di Mesjid kampus. Tampak agak pucat, dan beberapa jerewat akibat dari alergi obat vertigo yang kuminum. Foto ini diambil oleh Rizalliza Ariyanti, seorang senior di jurusan Matematika”

Jarang mengalami sakit, membuatku tidak tau seperti apa prosedur berobat dirumah sakit, diklinik, atau ditempat pengobatan dimana saja. Berangkat dari rumah jam 8 malam setelah sholat Isya, mendapati jalanan basah dan becek karna hujan deras yang tidak kunjung berhenti, sampai akhirnya kembali pulang kerumah jam 10 malam masih dalam kondisi hujan deras. Semua aku jalani bersama mama. Hanya mama dan orang yang mencintaiku yang tau betapa berat penyakit vertigo ini kuhadapi. Sisanya, hanya sekedar ingin tau dan mengangguk bahkan ada yang dengan lantang seperti menganggap aku sedang melakukan omong kosong seraya mengada-ada.
Aku pernah bercerita kepada seseorang tentang penyakitku, menceritakan semua yang aku rasakan dengan terperinci. Aku tidak sedang berusaha mendramatisasi suasana atau mencoba mengarang indah ditelinganya, tapi apa yang kudapat? “Hemmm, banyak sekali penyakitnya ya? Trus apa lagi penyakitnya? Udah ada vertigo, serangan panic, scoliosis, maag, trus apalagi?” dia mengucapkan itu dengan wajah seolah-olah menilai ucapanku hasil imajinasi. Aku  tau betul apa yang ada dikepalanya saat itu. Seandainya dia tau, aku tidak pernah butuh belas kasihan darinya, sedikitpun tidak! Setelah mendengar kalimat yang menghancurkan tadi, sontak hatiku ingin sekali mengutuknya, meminta pada Tuhan semoga suatu saat dia menempati posisiku saat ini. Sebelum kutukan itu kunyatakan, teringat pesan papa ditelfon sebelumnya, “maafkan siapa saja yang menyakitimu, tak perlu mengotori hati dan lidahmu membalas mereka yang berbuat jahat. Allah tau balasan mana yang terbaik untuk mereka. Maafkan. Ikhlaskan”. Peringatan dari papa mengubah kutukan menjadi do’a sederhana untuknya, “Ya Allah, maafkan dia, sehatkan dia, panjangkan umurnya. Jangan biarkan dia menjadi seperti dan merasakan penyakitku”.
*             *             *             *             *
Dan, apa  kabar dengan kuliahku? Jawabannya diwakilkan oleh dua kata, GAGAL TOTAL! Ya, sekali lagi aku katakan, gagal total. Aku harus melupakan tujuh mata kuliahku semester ini, dan tidak satupun bisa aku pertahankan. Menyedihkan bukan? Memang. Rencana ingin lulus dalam 4 tahun kini menjadi mimpi indah yang tentu tak mungkin terwujud. Sulit bagiku menjelaskan pada orangtua bahwa aku tidak bisa menepati janjiku sebelumnya. Untuk menghibur diri, aku mengorek-ngorek hikmah apa yang ada didalam keamburadulan ini. Pertama, aku ingin lulus tepat waktu sementara Tuhan ingin aku lulus diwaktu yang tepat. Dan rencana Tuhan tidak pernah didasarkan pada hipotesis yang salah, bukan? Kini, walau terjatuh aku harus bangun dan kembali berlari. Tidak ada waktu melihat kebelakang karna aku ingin memperbaiki masa depan.

“Ini adalah satu dari tujuh mata kuliah semester lima yang tidak bisa dipertahankan. Padahal kuliah Paper Thesis Writing ini adalah mata kuliah menulis yang kusukai. Aku sudah melaksanakan Mid Semester bersama teman-teman. Tapi sayang, semua yang pernah aku tulis pada mata kuliah ini harus kusimpan untuk kembali diulang pada semester tujuh. Insya Allah.”

Selanjutnya, aku ingin cepat-cepat keluar dari kampus dan diwisuda sementara kemampuanku masih belum memenuhi persyaratan. Kuliah itu bukan tentang menjadi sarjana dengan tambahan gelar. Jika kuliah untuk mencari gelar, mungkin banyak cara mendapatkannya. Menurutku, kuliah untuk menemukan ilmu. Selama kuliah, aku tidak pernah complain dengan nilai C, atau nilai D yang pernah diberikan dosen. Tidak ada pembelaan untuk nilaiku yang buruk itu, apalagi sampai-sampai mencari dosen dan meminta beliau menjelaskannya. Jangan harap itu terjadi.
Yang penting itu adalah ilmunya, nilai hanyalah bonus. Oke, hari ini aku mendapatkan nilai A pada mata kuliah Speaking sementara aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan baik dan benar. Bukankah itu lebih memalukan dibanding mendapat nilai D? Tidak perlu munafik juga, nilai memang penting tapi tak berarti segalanya. Dosen pun tidak akan sembarangan memberikan nilai jelek kepada mahasiswanya. Kalaupun mereka melakukannya, mereka yang bertanggung jawab penuh atas ketidak adilan itu. Diberi nilai jelek adalah peringatan. Aku diingatkan untuk lebih serius dalam kuliah. Semester tiga kemaren, aku pernah diberi nilai D pada mata kuliah Writing II karna aku tidak masuk kuliah selama 4 kali. Ya sudah, semester lima aku mengulang mata kuliah itu masih dengan dosen yang sama. Tidak ada dendam, tidak ada niat buruk, tidak ada masalah dan tidak ada keinginan untuk pilih-pilih dosen. Kuliah itu adalah perjalanan panjang dengan medan yang terus menanjak, tidak ada turunannya. Dan selalu beruntung dalam setiap tanjakan, itu tidak seru! Kadang aku harus jatuh, kalah terluka, dan terpeleset. Merasa kalah dan hancur tidak pernah terasa semanis ini sebelumnya. Terasa manis karna semua hikmah telah diraih. Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk ujian-Mu tahun ini.


Tidak Untuk Semester Ini

Diposting oleh AKSARA di 05.38 0 komentar


Semester ini, tidak ada seragam hitam-putih yang menjadi lambang dimulainya Ujian Akhir Semester. Tidak ada kartu ujian, tidak ada pengawas apalagi lembar soal ujian lengkap dengan kertas jawabannya. Ini adalah kejadian pertama, dimana semua yang telah aku sebutkan barusan tidak bisa kunikmati. Tidak ada antrian panjang dan berdesak-desakan untuk mengambil selembar kertas ujian semester.
Semua yang lazim terjadi diakhir semester, tidak bisa diulang disemester ini, tidak untuk sekarang.
"seragam hitam-putih semester pertama. Duduk sejenak di Mesjid dekat kampus sepulang dari melaksanakan ujian akhir semester."

Seragam hitam-putih disemester ke-2, ini diambil ketika kami sedang menunggu ujian praktek Speaking II dengan Miss. Rahayu Wulaning Pamungkas Saleh, M.Pd.


Seragam hitam-putih disemester ke-3, gambar ini diambil diam-diam oleh sipemilik kamera (Aku rasa ini pasti kerjaannya si Sonya Ayu Ratri Arjuna). Aku sedang duduk bersama dengan rekan satu kelas, Vicky Hyuda Bratama. Ini adalah suasana menunggu foto bersama sesi L yang dilakukan di Aula Gedung STKIP PGRI Sumatera Barat.




Seragam hitam-putih bersama teman-teman dirumah Yessiva Neida dalam rangka melaksanakan ujian praktek Speech dengan dosen pembimbing Belinda Analido, M.Pd.



Seragam hitam-putih disemester ke-4 dalam acara penutupan English Club, aku mengisi salah satu acara dengan beberapa rekan. Aku menjadi anggota Dream Team pada bagian  Debate, Rahmi Fitri sebagai membaca Alquran, dan Yulva Karmila sebagai MC.

Lalu bagaimana dengan semester lima? Tidak untuk saat ini :)

Penulis Amatir

Diposting oleh AKSARA di 05.36 0 komentar


Wanita memiliki banyak cara dalam mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Menangis, menggerutu, mencela, mengejek, membentak, dan diam adalah beberapa bentuk cara yang sering wanita pilih sebagai media pelampiasan perasaan. Sebagai wanita, aku lebih memilih menuliskan apa yang aku rasakan. Sedih, kecewa, terluka, bahagia, bingung, putus asa, aku lampiaskan semuanya dalam bentuk huruf dan menyimpannya rapat-rapat didalam mesin penyimpanku, kadang tidak jarang benda itu menjadi over load karnanya. Kenapa aku suka media ini (menulis) sebagai pelampiasan? Dengan menulis, aku bebas ingin menulis apa saja yang ingin aku tulis. Aku bebas menulis menggunakan gaya  bahasa dengan jenis apa saja.. Lalu dimana biasanya aku menulis? Seperempat dari tulisan singkatku, aku posting di microblogging, sedangkan yang lainnya aku posting di-blog pribadi. Sisanya, aku simpan suatu tempat.

kemahiran dalam menulis tidak didapat sejak lahir, tapi harus selalu diasah serta dilatih”
Banyak orang tidak suka menulis, bukan karna mereka tidak pandai, tapi lebih kepada mereka tidak ingin gagal dan tidak suka mencoba. Sebagai pemula, dulu tulisanku dianggap tidak berbobot. Tulisanku terlalu “pasaran” dan gaya bahasanyapun tidak begitu “wah”. Ini adalah kritikan yang dengan jujur aku katakan, mematikan rasa ingin menulisku. Yang mengkritikku bukanlah seorang penulis handal, bahkan menjadi seorang penulis amatir pun, dia belum lolos. Lalu kenapa aku harus patuh dan tunduk pada kritikannya yang dianggap keras itu? Aku menulis, bukan untuk menyaingi seseorang, atau kekurang-kurangnya ingin menyurupai seseorang. Bukan, bukan itu tujuanku. Aku ingin menjadi diriku sendiri dalam setiap kata yang aku rakit selama berhari-hari. Aku ingin menjadi sesuatu yang berbeda, bukan seperti dia, kalian, atau mereka apalagi kau. Karna dengan menulis, aku merasakan ada sesuatu yang bisa aku alirkan. Dalam tulisanku, aku akui, bahasanya cendrung keras, langsung dan mungkin, kasar. Kadang aku sadar, beberapa dari tulisan yang pernah aku posting, kemungkinan menyinggung seseorang, atau bahkan menyakitinya. Tapi lagi-lagi, aku tidak ingin berbohong, serta perpura-pura “ramah” kepada para pembacaku. Karna aku tau bahwa media sosial atau blog adalah tempat yang paling aman untuk menjadi orang lain, atau mungkin tempat yang paling cocok untuk memakai topeng aku tak berniat untuk mencoba.

Aku memiliki aturan dalam menulis. Ini sangat lentur, kadang bisa menjadi sangat baku, namun dikeadaan genting, aturan ini bisa saja mencair. Jadi, ini adalah aturan yang bisa disesuaikan. Misalnya, ketika aku marah kepada seseorang, dan aku memakinya dalam tulisanku, aku mengetik ratusan kata bersama tuts laptopku, tapi aku tidak boleh memposting amarahku ditempat umum. Maksudku, tidak ada yang berhak membacanya. Begitu juga ketika aku sedang mengagumi seseorang, aku boleh saja ber-puisi, atau bermesra-mesraan dengan huruf-huruf itu, tapi lagi-lagi, aku tak boleh mempostingnya. Itu memalukan. Hehehehe…. J
Aku tidak pernah berfikir akan menjadi begitu  senang dengan kegiatan ini. Aku rela menghabiskan waktu luangku untuk menulis. Bahkan, kadang-kadang aku sampai kehabisan ide dan permasalahan yang ingin kubahas. Satu hal yang aku herankan dari inspirasiku adalah, kenapa mereka sering datang disaat aku tidak sedang memegang alat tulis dan kertas? Bahkan, yang lebih dramatisnya, inspirasi sering datang ketika aku berada dikamar mandi. Onde mandeee…

ini adalah beberapa benda yang paling sering aku pakai untuk menulis inspirasi yang sering datang mendadak. Ada buku harian, yang aku gunakan disaat inspirasi datang dimalam hari. Ada Binder dan pena, ini digunakan menulis inspirasi yang datang disaat dosen sedang menerangkan pelajaran. Ada juga handphone, yang dipakai disaat inspirasi datang sewaktu tengah berhenti dilampu lalu lintas. Heheheh….”

menjadi penulis tidak akan membuatmu sejahtera, uangnya sedikit. Dan peluang menjadi penulis ternama pun rasanya sulit”
Itulah pandangan buruk yang aku pakai untuk mematikan kretifitas. Menulis kini menjadi kesenangan. Kesenangan yang ingin aku bagi dengan orang lain. Sewaktu aku masih sekolah, seorang guru bahasa Indonesia tidak percaya bahwa puisi yang sedang beliau baca adalah karanganku. Ia bertanya berkali-kali dan membaca berulang ulang puisi bertema nasionalisme itu. Ah, ternyata ada harapan diremehkan sepertinya. Tidak hanya guruku, teman-teman dan siapa saja yang baru membaca tulisanku sampai detik ini masih tidak yakin dengan apa yang aku tulis. Aku tak tau alasannya, aku pun tak ingin mengetahuinya. aku ingin terus menulis dan memperbaiki tulisanku. Tak penting menjadi terkenal dengan banyak orang yang membaca tulisanku, yang terpenting aku memperoleh banyak manfaat dari menulis. 

sekali seorang anak suka dengan menulis, maka tulisannya akan melejit”
Semester lima ini aku mempelajari Paper Thesis Writing dengan dosen pembimbing Sandi Sukandi, M.A. PTW adalah mata kuliah menulis, persiapan menulis untuk thesis dan paper, kurang lebih begitu. Sayangnya, mata kuliah ini tidak bisa aku selesaikan dengan sempurna. Aku hanya bisa bertahan sampai pertemuan ke-sepuluh, sisanya,  “selamat tinggal”. Sejak mengenal PTW aku jadi semakin tertarik dengan menulis. Aku yang terbiasa menulis dengan bahasa Indonesia, murni bahasa Indonesia, kini harus berganti haluan menjadi bahasa inggris. Perbedaan bahasa bukan bukan perkara, yang penting kita paham dengan apa itu tesis dan paper berserta aturan mainnya.
Menulis paper dan thesis is complicated but I’m excited. PTW dan semua hal yang berhubungan dengannya adalah hal yang unik dan menarik. Ini adalah kali pertama aku menulis yang berbau ilmiah dan akademik, tentu ini menyenangkan. Aku dan rekan-rekanku pun diajar oleh dosen pembimbing yang menyenangkan berdasarkan pendapat teman temanku. Tapi selama matakuliah PTW berjalan aku lebih sering keluar kelas dan menghabiskan banyak waktuku untuk duduk diluar ruangan. Kuliah menulis kadang cukup membosankan, maka dari itu aku tidak betah berlama-lama duduk didalam kelas disatu ruangan dengan durasi dua jam. Dari sinilah masalah sering datang (oke, sebaiknya tidak perlu dibahas. Heheheh…)

Ya, kini pengetahuanku tentang menulis baik versi formal ataupun non-formal mulai bertambah. Terima kasihku kepada guru dan dosen-dosenku yang pernah mengajarkan teori menulis selama ini. Terima kasih Ibu Elsi Yurnalita, S.Pd, Ibu Widya, S.Pd, Bapak Ramadhansyah, M.Pd, Miss. Rini Dwitya Sani, M.M.Pd, Mr. Jufri, M.Pd, Miss. Elmiati, M.Pd, dan yang terakhir kepada Mr. Sandi Sukandi, M.A.

Ini adalah mesin ketik “canggih” yang selalu aku gunakan. Dia begitu setia, tidak pernah mengeluh, tabah dan penurut. Dia mau menuliskan apa saja yang ingin aku ketikkan. Sudah hampir lima tahun kami bersama, menghabiskan waktu berdua ditempat biasa. Terima kasihku untukmu *alay”

Tanpamu Apa Jadinya Aku?

Diposting oleh AKSARA di 05.35 0 komentar
Hari Rabu kemarin, keponakan saya yang bernama Alifa, baru saja pulang dari sekolah bersama papa (Alifa memanggil papa dengan sebutan Atuk). Dengan baju berwarna ungu lembut dan dikepalanya menempel jilbab merah menyala, tampak cantik sekali si nona muda itu. Berlari dari pekarangan rumah, ia menuju ruang tamu. Saya yang sejak tadi memperhatikannya tersenyum. Kemudian saya berjalan menuju kamar karna ingin mengambil sesuatu.

Dari dalam kamar, saya mendengar Alifa bercerita banyak perihal kegiatannya disekolah hari ini kepada nenek.Suaranya yang cempreng terdengar jelas ditelinga dan menembus dinding-dinding kamar. Alifa adalah keponakan saya, dia tinggal dirumah sejak usia 3 bulan, karna Bunda dan Ayahnya bekerja dari pagi sampai sore bahkan malam, itulah kenapa sepertiga waktunya dihabiskan dirumah saya.

Kini usianya sudah empat tahun, ia adalah murid sekolah ADZKIA. Alifa memang sudah tergolong anak yang cerdas bahkan sebelum ia menjadi seorang murid. Sore itu, dari sekian banyak kicauannya yang saya dengar, ada satu kalimat yang terdengar paling nyaring, bunyinya "Tanpamu apa jadinya aku?". Mulanya saya bingung, kalimat itu terdengar seperti lirik, kemudian saya berfikir, "apakah ini nyanyian orang dewasa?"

"Tanpamu apa jadinya aku? Kau ajarkan aku menulis dan membaca. Oh guruku, terima kasihku padamu".

Oh, ternyata itu adalah penggalan lirik dari sebuat lagu? Lirik yang singkat, namun sarat akan makna. Lirik ini membawa saya kembali pada kejadian yang lalu, hari ini dan nanti. Tanpamu apa jadinya aku? Alifa bersama liriknya yang "mengena" ini membuat saya berfikir ulang terhadap apa yang telah saya lakukan selama ini kepada mereka yang profesi sebagai "guru".

Lirik yang sederhana ini membuat rasa bersalah yang ada pada diri saya semakin memuncak, tepatnya ketika saya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa saya tidak sepenuhnya pernah menghormati orang-orang, atau siapa saja yang pernah menjadi guru saya selama ini. Saya, sebagai seorang murid yang angkuh, selalu melakukan pembelaan terhadap diri sendiri dengan embel-embel "aku punya cara dan jalan lain untuk menghormati guru-guruku".

Hari ini mungkin status saya masih menjadi mahasiswa yang bertugas menerima ilmu dari seseorang, tapi waktu tidak mungkin berjalan ditempat, bukan? Akan ada masanya saya berganti posisi menjadi orang yang memberikan ilmu yang saya miliki kepada orang lain. Apa jadinya jika murid-murid saya tidak menghormati saya. Apa jadinya ketika usia saya sudah tergolong "tua" tapi anak-anak muda itu tidak menghormati saya? Ya, kurang lebih seperti yang tidak jarang saya lakukan selama ini kepada dosen-dosen dikampus?

Saya benar-benar sudah tidak kuat lagi melihat kebelakang, melihat kejadian dimana saya dengan rasa tidak bersalah ini berbuat seperti itu kepada dosen-dosen saya. Saya sudah tidak kuat lagi melihat bagaimana saya dengan gampangnya mengabaikan mereka yang ingin membuat saya menjadi lebih baik. Kini saya sadar, bahwa kecerdasan saja tidak cukup tanpa adanya rasa saling menghormati kepada orang lain, terlebih kepada yang tua.


"Apa yang kau lakukan pada orang lain, suatu waktu itu juga yang akan kau dapatkan dari orang lain."

Yang papa bilang memang benar, rasa tidak hormat yang  saya tebar pada mereka suatu waktu akan berbalik menyerang saya.Jika nama tanpa gelar akademik saja sudah bisa membuat saya tidak menghormati mereka, lalu apa jadinya jika nama saya telah banyak dihiasi gelar pemberian manusia ini? Bisa-bisa, saya kehilangan rasa menghormati.

Menghormati seseorang, tidak melulu tentang siapa, keturunannya, gelarnya, warna kulitnya, kekayannya, dan apa agamanya. Menghormati itu tentang cara memperlakukan dia sebagai sesama. Ya, diketikan ini saya bisa dengan leluasa berbicara dengan bijaksana tentang "cara menghormati" yang secara teori, saya memang unggul, tapi secara praktek, saya tidak ada apa-apanya. MEMALUKAN!

Kini, apakah masih ada waktu untuk saya memperbaiki semuanya? Masih adakah? Masih bolehkan? Dan, masih bisakah? Tentu masih! Selalu ada maaf kepada yang bersalah, selalu ada kesempatan bagi yang ingin berubah, dan selalu ada lembaran baru bagi yang tidak ingin kembali lagi pada masa lalu.

Maafkan saya, maafkan saya dan maafkan saya ....






Note : Saya dan Alifa Zahrani Qalbi, inspirator kecil yang lewat kicauan singkatnya menyadarkan aku dari semua kesalahan ini. Inspirasi memang datang dari siapa saja, tidak penting siapa Anda dan berapa usia Anda. Syukran Jazakallahu Khairan Katsiran Alifa :)


Kau

Diposting oleh AKSARA di 05.27 0 komentar

Hey kau, yang baru saja aku temukan karakternya. Begitu menyenangkan sekali bertemu denganmu. Menyenangkan karna ternyata Tuhan juga menciptakan lelaki sepertimu. Ya, manusia yang secara anatomi 100% murni pria, tapi secara hati, kau lebih halus dari wanita.

Awalnya aku kira semua pria itu tangguh, bersuara keras, tertingkah laku kasar, tapi kau adalah semua yang tidak aku kira. Suaramu itu, lembut, bahkan aku sulit mendengarnya. Bahasa mu itu, halus, sampai aku sulit untuk menyeimbangkannya. Padahal aku wanita, tapi tutur bahasamu, menyainginku, lelaki lembut :)

Hey kau, kau tau? Aku, jarang sekali bersedia menghambur-hamburkan waktu untuk menekan tuts mesin ketik canggih ku ini hanya untuk sekedar berbicara tentang seorang lelaki.Tapi untukmu, baiklah, kali ini aku kesampingkan ego-ku dan aku mengalah.

Lelaki, setahuku kaummu itu dirancang dan sudah di-program Tuhan menjadi makhluk yang egois, angkuh dan logis. Jujur, aku tak terlalu tau banyak tentang lelaki, dan karrna ketidaktahuanku itulah, kau menjadi objek yang sangat menarik dan menggiurkan untukku selidiki, dengan metode ku sendiri.

Wanita

Diposting oleh AKSARA di 05.20 0 komentar

Hujan gerimis terlihat dari balik jendela rumah yang tengah didatangi dua pria yang sedari beberapa bulan yang lalu tidak aku temui. Ayah dan kakak laki-laki ku baru saja kembali dari luar kota untuk rehat sejenak dari pekerjaannya ditempat itu...

Membahagiakan sekali hari ini, berkumpul bersama mereka yang aku cintai. Ada Ibu, Ayah, Abangku, dan keponakan yang lucu. Sesaat aku duduk diruang tamu menikmati gerimis tengah hari, aku melihat seorang ibu dan anak laki-laki yang menggunakan jas hujan berwarna pink. Dibaliknya tampak samar seragam sekolah dasar dengan tas kecil yang ia sandang.

Sedangkan si Ibu muda tengah asyik bersama payungnya yang bercorak bunga berwarna kuning. Mereka berdua berjalan didepan rumahku, dan aku mengamatinya dari balik jendela berkaca hitam. Hemmm... aku menghela nafas panjang lalu melamunkan masa kecilku beberapa tahun yang silam...

Ibuku adalah seorang wanita karir sewaktu aku tengah duduk manis disekolah dasar. Disaat usiaku baru 6 tahun, aku sudah terbiasa pergi dan pulang sekolah seorang diri. Aku tidak pernah merasakan seperti apa itu sepayung berdua dengan ibu ketika air hujan gugur membasuh pekarangan rumah. Aku sungguh tidak tau bagaimana rasanya.

Ibu yang memilih bekerja sebagai pegawai kantoran lebih menomor satu-kan pekerjaannya dibanding aku. Saat itu, aku merasa bahwa Ibu lebih mencintai pekerjaannya dibanding aku, aku beranggapan bahwa gaji yang diterima Ibu lebih berharga dibanding diriku. Sungguh, pemikiran anak seusiaku disaat itu tidak pernah direkayasa. Semuanya murni berasal dari hati.

Ketika hari baru dimulai, dan hari Senen itu datang, jangan berharap bahwa ibu akan mengantarku kesekolah seperti yang lazim dilakukan para Ibu diluar sana. Aku hanyalah aku, yang selalu mengurusi diriku sendiri. Sudah bukan hal yang aneh lagi ketika acara penerimaan raport kenaikan kelas Ibu tidak pernah datang kesekolah. Aku biasanya "meminjam" orang tua temanku untuk menjadi orang yang mewakili Ibu karna yang menjadi peringkat 3 teratas harus maju kedepan kelas dan didampingin orang tuanya.

Sepulang dari acara penerimaan raport, aku memberi tau Ibu bahwa aku menjadi no 2. Jika kebanyakan anak-anak meminta apa yang dia inginkan, tapi tidak dengan aku. Selama sekolah, aku jarang minta di-iming-imingi sesuatu. Misalnya, kalau aku bisa masuk peringkat 3 besar, aku mau dibelikan sepeda, atau sepatu baru. Aku hampir tidak pernah melakukan itu.

Bagiku belajar adalah kewajiban, aku belajar bukan untuk menerima upah.Tidak menerima hadiah ditiap akhir semester bukan karna Ibu tidak memiliki cukup uang, bukan karna Ibu pelit, tapi karna aku tak pernah tergiur dengan barang-barang "wah" yang dimiliki teman-teman.

Dan sampai sekarangpun, walau lebelku adalah "mahasiswa" yang terkenal dengan  style-nya itu, namun tetap dengan kebiasaan lamaku, cuek! Apalagi mahasiswi yang rela menghabiskan uang saku mereka untuk sekedar belanja, dandan dan membeli produk keluaran terbaru. Namun apapun yang mereka lakukan, itu bukanlah urusanku. selagi yang mereka pakai bukan uangku, maka, terserahlah.

Aku tau bahwa hidup dan kehidupan tidak melulu tentang "siapa yang lebih keren" atau "siapa yang lebih modis". Tapi hidup adalah tentang bagaimana cara menjalaninya dengan baik dan benar. Bukankah hidup itu terlalu sederhana untuk dibuat rumit? Bukankah hidup terlalu indah untuk dibuang percuma? Bukankah hidup terlalu berharga untuk tidak dinikmati? Berfikirlah.

Banyak cara yang bisa dipakai untuk menikmati kehidupan. Seperti aku misalnya, aku tau bahwa hidup ini sangat berharga. Namun sayang, beberapa bulan terakhir aku menjalaninya dengan cara yang tidak senonoh. Dan inilah akibatnya, kuliahku hancur, penyakitku kambuh, emosiku mulai tidak terkendali dan, aku merasa tidak bisa berjuang kembali.

"Sudahlah, jangan menangis. Jangan cengeng meski kau seorang wanita. Hapus air matamu itu".
Kalimat ini sering aku dengar dari Ayah. Aku tau ayah adalah seorang pria yang sangat tegar dan ketegarannya itu membuat dirinya lupa bahwa dia melontarkan kalimat itu kepada putri kecilnya. Dan Ayah juga lupa bahwa putrinya ini tak sekuat yang dirinya kira. Aku wanita, air mataku bukan karna aku cengeng, bukan karna aku lemah, tapi karna aku lelah. Ya, lelah.

"Wanita sering berpura-pura tangguh dengan sisa tenaga yang kian merapuh..."

Bagaimana aku tidak lelah, aku lelah dengan semua yang menekanku. Aku lelah dengan orang-orang yang gemar sekali merubah orang lain menjadi apa yang dia mau. Jujur, aku lelah dengan seseorang yang meminta aku menjadi sesuatu yang bukan aku hanya untuk memuaskan keinginan dirinya. Adilkah itu?
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, "Belum bisakan aku menjadi orang yang baik? Belum cukup baikkah aku? Terlalu egoiskan diri ini?"



Ini Opiniku Tentang Cinta

Diposting oleh AKSARA di 05.17 0 komentar




“Shinta? Bikin puisi? Bisa-bisa matahari  jadi terbit dari timur kalo dia mendadak pandai bikin puisi… hahahah”
Itu kalimat tujuh tahun lalu yang masih aku ingat tentang cinta dan semua romantisme-nya. Wajar saja jika teman-teman mengejekku lantaran aku sangat kaku dengan hal-hal yang berbau romantis apalagi tentang cinta. Menurut seorang teman, orang yang mahir dalam menulis puisi adalah dia yang sangat sensitif dan peka terhadap cinta. Tidak seperti aku yang tidak pernah menghiraukan cinta. Aku bukannya tidak menghiraukan, aku peduli dengan cinta hanya saja aku tak seperti mereka yang berlebihan dalam hal itu.
Cinta. Topic yang tak kunjung usai jika dibahas oleh orang-orang yang sedang dalam perangkapnya. Ada yang menulis nama orang yang dicintainya dimana saja, bahkan sampai dinding toilet umum pun digunakan untuk menulis nama si dia, ada juga yang memasang foto orang yang dicintai di wallpaper telfon genggamnya, dan yang lebih parahnya adalah ada yang bermesra-mesraan di wall jejaring sosial tanpa peduli bagaimana orang akan menilai meraka. Tidak ada yang melarang mereka jatuh cinta, tidak ada juga yang melarang mereka mencintai seseorang, tapi jangan keterlaluan seperti itu. Dan inilah alasan, kenapa orang yang jatuh cinta itu terlihat SANGAT NORAK pada awalnya. Baru menjalin hubungan, baru resmi, nama panggilanpun diganti menjadi “sayang”, “cinta”, “sweety” tidak lupa ada juga panggilan “papa”,  “mama”, “ayah”, “bunda” dan lain sebagainya. Jatuh cinta memang membuat seseorang menjadi lebih gila dari pada ORANG GILA SUNGGUHAN. Hahaha…
Mereka bilang cinta itu indah, cinta itu manis, tapi beberapa saat setelah itu mereka akan berkata bahwa cinta itu rasanya kecut, pedas, asin, dan pahit. Itu tandanya cinta yang mereka rasakan membuat mereka tidak konsisten lantaran sering berubah-ubahnya penilaian mereka terhadap satu hal, cinta. Cinta, cinta, cinta. Salah satu topic pembicaraan yang paling membosankan menurutku.
“bagaimana rasanya hidup bertahun-tahun tanpa kekasih? Ini tahunmu yang ke-delapan tanpa dia kan?
“Ya, benar. Dan aku merasa baik-baik saja”
“Aku salut bercampur heran dengan wanita sepertimu”
“Kenapa?”
“Sebenarnya kau punya hati tidak? Kau pakai untuk apa hatimu?”
“Aku punya, aku memakainya untuk menetralisir racun dalam tubuhku serta sebagai penyeimbang asam amino dalam darah”
“Hahahah… pantas saja kau bisa bertahan dengan kesendirianmu itu!”
Aku benar-benar muak dengan orang yang selalu bertanya dimana aku taruh hatiku dan kapan saja aku memakainya. Kenapa orang-orang itu terlalu sibuk mengurus yang bukan urusannya? Selalu ingin tau siapa yang aku cintai, bagaimana aku mencintai seseorang, dan segalanya. apakah rasa cinta  harus di uber-ube r kesana kemari? Apakah cinta harus diberitahukan kepada seluruh dunia? Apakah aku harus berteriak-teriak kepada semua orang bahwa aku mencintainya? Jangan mimpi aku akan melakukan itu!
tidak semua orang didunia ini dapat mengungkapkan perasaannya dan biarkan mereka mencintai dengan caranya sendiri, pasti itu yang lebih indah”
Ketika aku mencintai seseorang, aku ingin hanya aku dan dia yang mengetahuinya, dunia tak punya urusan. Aku ingin hanya dia yang mendengar kalimat “aku mencintaimu, kekasihku” bukan semua telinga, mereka tak punya hak. Aku ingin hanya dia yang membaca kutipan-kutipan hatiku, bukan semua mata, mereka tak layak. (Shinta Winanda)

Berpacaran? Menyenangkan? Tidak perlu MUNAFIK aku rasa. Menyenangkan dari segi apa? Tidak ada gunanya kenikmatan yang haram karna akan menghasilkan penyesalan. Jika yang dicari dari sebuah hubungan hanya rasa senang, berarti cintamu akan padam jika kau mulai tidak bahagia bersamanya. Jika yang dicari adalah orang yang bisa mendengar curahan hatimu, berarti cintamu akan surut ketika dia sudah bosan mendengar semua keluhan-keluhanmu itu kan? Jika yang dicari hanya orang yang bisa mengantar dan menjemputmu, biar aku ingatkan bahwa jangan suka memanfaatkan seseorang yang mencintaimu.
Mencintai itu adalah pilihan. Aku yang menentukan siapa yang pantas aku cintai dengan sungguh atau sekedarnya saja. Tidak ada orang didunia ini yang tidak pernah menggunakan hatinya untuk mencintai, begitupun dengan aku. Hanya saja, aku lebih suka bermain-main dengan perasaanku bukan malah mempermainkan perasaan seseorang. Mencintai itu menyenangkan, membahagiakan, aku tau betul bagaimana rasanya. Akan lebih menyenangkan lagi  jika kau bisa bertahan lebih lama mencintai dia dalam diam dan ketidakpedulianmu. Aku memang benar-benar mencintai seseorang ketika aku mengabaikannya, meninggalkannya, menjauhinya, dan membuatnya tidak berharga. Ini memang cara mencintai orang zaman purba yang sangat primitive, tapi aku suka. Ini seru! Sayangnya, beberapa tahun ini aku jarang merasakan hal itu.
“boleh aku Tanya sesuatu?”
“ya…”
“Apakah ditempat ini (kampus) tidak ada pria yang bisa menarik perhatianmu? Tidak adakah pria keren? Pria cerdas dan pria baik yang bisa kau temukan ditempat ini?”
“Ada. Banyak malahan. Aku sering bertemu pria yang kau sebutkan barusan. Namun apa urusannya denganku?”
“kenapa kau tidak memilih salah satu dari mereka?”
“memilih? Maksudmu aku sebagai wanita memilih pria-pria itu? Begitu?”
“yap…”
“Mungkin kau tidak tau bahwa pria-lah yang seharusnya memilih wanita yang disukainya, bahkan mereka bebas MEMILIH wanita mana saja yang diinginkannya. Sedangkan wanita, bebas MENOLAK setiap pria yang tidak diinginkannya.”
Dan percakapan itu pun terhenti sampai disitu. Oh sebegitu pedulinya kah orang-orang terhadap nasib asmaraku? Pertanyaan itu hanya rasa ingin tau, aku tau itu. Tau persis.

Kau Air dan Aku Api

Diposting oleh AKSARA di 05.15 0 komentar



Semakin bertambah usia, bukankah semakin bijak jugalah seharusnya aku menghadapi masalah ini. Aku bukan lagi anak kecil yang setiap ada masalah, aku minta untuk di-benar-kan, bukan juga minta didengarkan semua ucapannya dan menyalahkan lawan-lawanku. Aku letih disebut  EGOIS!
Ini bukan saatnya mencari siapa yang salah, ini saatnya untuk membenahi diri. Dari semua yang terjadi, aku yang salah dan aku meminta maaf kepadamu yang telah aku lukai hatinya. Barangkali kau belum bisa menerima dengan tangan terbuka siapa aku, dan bagaimana aku. 

Hey, kita baru saja bertemu dan pertemuan kita masih bisa dihitung dengan jari. Jadi, wajar saja ada yang terasa aneh bagimu ketika mendengar tentang aku. Tak perlu kau merasa penasaran atau mencari tau lebih dalam tentang aku kepada rekan-rekan yang ada disekitar, tidak usah.
Aku masih ingat ketika kau berkata “saya begini lantaran saya peduli”, itu adalah kalimat singkat  yang cukup menyenangkan saat didengar. Tapi akhirnya apa? Lagi-lagi aku menemukan bukti nyata bahwa, sekedar peduli saja tidak cukup tanpa belajar memahami seseorang. Kepedulianmu itu, mengekangku. Kau merasa bingung dan sulit memahamiku? Sama, akupun begitu.

Itulah sebabnya kenapa aku merasa malas sekali bercerita panjang dan lebar tentang hal-hal pribadi kepadamu, responmu tidak enak. Aku lebih suka membuatmu penasaran agar semakin menguatkan persepsi-mu terhadapku sebagai orang aneh, orang misterius yang sulit ditebak.
Kau pernah menulis di-blog-mu bahwa kau sangat membenci konflik, membenci keributan, tapi tiba-tiba kau bertemu dengan aku, orang yang melakukan semua hal yang kau benci itu. Bagaimana rasanya? Kau dan aku telah bersiteru sejak awal kita bertemu, bahwa sejak aku belum sempat tau siapa namamu. Pertemuan awal yang tidak baik membuat aku tak pernah luput dari pandanganmu, dari penilaianmu.

Lantaran sejak awal kau sudah bisa menilaiku buruk, akupun berniat membenarkan anggapanmu terhadap aku, sebagai orang paling tidak sopan, dan lebih KURANG AJAR dari yang pernah kau sangkakan selama ini. Kau beropini buruk tentangku kan? Jadi biarkanlah aku memberimu sedikit ruang untuk berbahagia dengan opinimu yang ke-absahan-nya begitu lemah.Bukankah pria memang suka dianggap benar?

Kau adalah pria yang memiliki hati yang kadar sensitifnya begitu tinggi, sangat tinggi. Sebegitu halusnya hatimu, satu kata saja dapat menghancurkannya. Lagipula, mana mungkin seseorang seperti aku, wanita pembangkang dengan gaya bahasa yang keras bisa bersama dalam satu ruangan denganmu dalam waktu yang lama? Kau lihat sendirikan hasilnya kan?
Aku tak ingin ada yang menyebutku egois lagi, aku tak ingin menyakitimu lagi dengan tindakanku yang tidak menghormatimu ini. Aku yang salah, aku minta maaf. Jika biasanya mengalah bukan berarti kalah, tapi kali ini aku mengalah karna terlalu lelah. Sangat lelah…­­­




 

A K S A R A Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea