Sabtu, 08 Februari 2014

Jogjakarta

Diposting oleh AKSARA di 05.49
Delapan tahun yang lalu, tahun 2007, saya meninggalkan kota Padang dan menetap di Jogjakarta demi melanjutkan pendidikan. Adik papa, meminta saya untuk mengambil jurusan tata busana, agar ada penerus Om, yang berprofesi sebagai perancang busana muslim wanita. Tapi saya menolaknya dengan alasan, saya tidak punya bakat yang dibidang itu. Apa jadinya saya menekuni satu bidang yang tidak saya sukai? Pasti tidak akan pernah berhasil, saya rasa. Saya   memilih Administrasi perkantoran sebagai pilihan akhir. Memenuhi semua hal-hal yang dibutuhkan, mulai dari legalisir ijazah, surat keterangan pindah dari dinas, surat kesehatan, sampai pada surat bebas narkoba. Siswa baru yang datang dari luar daerah, terlebih dari luar pulau, diharuskan menyerahkan surat bebas narkoba dengan alasan banyaknya remaja saat ini yang sudah menjadi pemakai dan pengedar diusia sekolah. Oke, untuk yang satu ini saya tidak bisa memenuhinya, semua karna waktu yang diberikan terlalu sempit. Saya tidak tau dimana rumah sakit yang ada disana, sedangkan dua hari lagi hari pertama sekolah akan dimulai. Waktu dua hari itupun dirasa tidak cukup, karna banyak yang haruas diurus. Ada seragam sekolah dari yayasan yang belum sempat dijahit, buku tulis dan alat-alat tulis yang belum sempat dibeli, dan perlengkapan MOS lainnya. Segalanya memang serba mendadak, bagaimana tidak, rencana untuk sekolah di Jogja pun didasarkan pada perancanaan yang juga mendadak.
Masalah administrasi akhirnya bisa diselesaikan juga, dengan menjelaskan alasan bahwa waktu yang diberikan tidak cukup, maka pihak yayasan bisa memaklumi dan memberikan tenggang waktu kepada saya untuk melengkapi berkas-berkas yang kurang. 

Kini kita bicara tentang masalah keuangan. Ya, ini masalah yang agak sensitif untuk diceritakan. Tahun 2006, orang tua saya, papa dan mama di berhentikan secara massal oleh perusahaan yang kurang lebih 25 menjadi tempat bekerja mereka. Alasannya adalah, perusahaan yang semula diurus oleh warga Korea, kini beralih ketangan warga China. Berjalan beberapa tahun, perusahaan mulai mengalami masa krisis, dan akhirnya, berhenti total! Papa dan mama yang sewaktu itu menjadi pengangguran, tentu tidak bisa membiayai uang sekolah saya. Itulah kenapa om, menyuruh saya ke Jogja dan meminta saya sekolah disana.
Sewaktu saya dan papa ditanya pihak yayasan, apa pekerjaan orang tua saya, saya tidak tau harus menjawab apa. Papa menjelaskan bahwa beliau baru saja di PHK massal oleh perusahaan itu dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Lalu pihak yayasan menyarankan untuk mengurus “surat miskin” agar saya mendapat keringanan dari yayasan atau mungkin bisa dibebaskan dari uang sekolah dengan syarat-syarat yang berlaku, tentunya. Mendengar saran dari pihak yayasan untuk mengurus surat miskin, saya minta papa untuk menolaknya. Menolak bukan karna saya tidak sudi dibilang miskin dan mencoba bersikap seperti orang kaya raya. Bukan itu. Saya menolak, karna saya merasa ada yang kondisi jauh lebih parah dan memprihatinkan dibanding saya. Papa menolak dengan alasan, “kami tidak bisa dikategorikan miskin. Ini sangat bertentangan dengan hati nurani saya. Saya, istri dan anak saya masih memiliki tempat tinggal yang layak, pakaian yang layak, hanya saya untuk saat ini saya belum menemukan pekerjaan. Hanya itu yang menjadi permasalahannya, buk.” Kepala yayasan bisa maklum, sebagai warga baru, yang harus beradaptasi, izin dan kelonggaran kembali diberikan.

Saya dan teman pertama yang saya temui  di SMK PIRI 3 Yogyakarta, Rista Ningsih. Foto ini diambil dalam rangka perjalan ke Semarang, untuk melihat pabrik textile Sri Rejeki.


*          *          *          *          *
Jogjakarta adalah tempat baru bersama semua hal yang baru yang saya terima. Sadar dengan langit berbeda yang saya junjung, dan bumi baru yang saya injak, semua hal yang biasa saya lakukan, dan adat istiadat yang ada di Padang, harus dirombak sebagian. Kita mulai dari cara berkomunikasi. Di Jogjakarta, saya hampir tidak pernah mendengar adanya teriakan, atau sekurang-kurangnya seseorang yang berbicara dengan nada tinggi. Nyaris tidak pernah. Telinga saya selalu dimanjakan dengan bahasa yang santun dan mendayu-dayu. Tinggal dikawasan keraton, kediaman om yang terletak di Jalan Langenastran Lor no 11 alun-alun kidul, mayoritas warga disana menggunakan bahasa jawa versi “halus”.
Kesulitan pertama yang saya alami adalah, setiap orang yang melihat saya pertama kali selalu menduga bahwa saya adalah asli Jogja dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa daerah.  Padahal, saya asli Minang dan waktu itu saya sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa jawa. Dipasar, dijalanan, ditoko, diwarung, dimana saja saya berada, orang-orang akan langsung menggunakan bahasa jawa memulai percakapannya. Saya jelaskan pada mereka bahwa saya ini adalah warga pendatang dan saya berasal dari Padang. Banyak dari mereka yang terkejut, lalu kembali bertanya, “ah, ojo ngapusi mbak e. kok ketok e mbak e kuwi sami mawon karo wong kene e”. Saya hanya membalas dengan senyuman, sebab saya tidak paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. 

Beralih membicarakan makanannya. Ini adalah perbedaan yang paling mencolok antara dua tempat yang saya tinggali. Masakan Padang yang ternama karna rasa pedasnya diadu dengan masakan Jogja yang unggul dengan rasa manisnya. Untuk soal makanan, tidak ada masalah. Saya yang tidak suka pedas tentu mudah beradaptasi dengan makanan yang ada disana. Tapi, untuk masalah lauk pauk seperti tahu, tempe, ayam, daging dan ikan, tampaknya kota Padang menang jauh daripada Jogja. Kota Padang yang berposisi dipinggir pantai membuat konsumsi ikan bukanlah perkara rumit, menemukan ikan segar tidak lagi membutuhkan waktu yang lama atau akses yang berbelit-belit. Berbanding terbalik dengan Jogja. Selama saya disana, saya tidak pernah menemukan ikan segar yang datang langsung dari laut, yang ada malah ikan yang sudah diberi es yang datang dari luar kota seperti Semarang dan Solo.  
Kediaman om yang ada di alun-alun utara selalu ramai setiap malamnya. Jarak sekitar 20 meter dari rumah, bisa kita temukan berbagai macam jajanan kaki lima mengitari lapangan  dengan dua pohon beringin besar ditengahnya. Wedang ronde, mie ayam, baso, siomay, jus jeruk, bubur ayam, dan semua makanan yang saya tidak tau judulnya berjejeran sampai tengah malam. Selama  disana, saya hanya beberapa kali keluar mencicipi jajanan itu karna tidak ada teman yang bisa diajak jalan selain juga karna tidak suka keluar malam.

*       *       *          *          *
Hal yang serupa juga terjadi pada ramadhan pertama di kota ini. Imsak dan berbuka puasanya lebih cepat 45 menit dibanding kota Padang, bahkan lebih cepat dari Jakarta. Saya sempat kaget dengan kondisi bulan ramadhan pada siang hari. Daerah dengan penduduk yang memiliki jumlah warga muslim dan non-muslim yang seimbang membuat saya menjadi bingung dan bertanya pada diri sendiri, kenapa seperti ini penampakannya? Pagi hari, warung-warung yang bertengger dipinggir alun-alun tetap dibuka dan pengunjung bisa menyantap makanannya dengan lahap. Tidak ada masalah. Sementara di Padang, adalah hal yang ganjil bukan jika ada yang makan diwarung pinggir jalan pada siang hari dibulan Ramadhan? Tapi disore harinya, masjid yang ada disebelah rumah saya selalu mengadakan buka bersama. Siapa saja warga muslim boleh mampir kesana, tidak penting apakah kalian warga setempat atau orang-orang yang sedang berkunjung dari luar. Ada pembagian makanan buka puasa gratis untuk yang sedang berpuasa, ditambah suasana masjid yang nyaman dengan hiasan warna hijau lembut ditiap dindingnya. 

Yang terakhir, saya ingin bercerita tentang gaya hidup mereka. Ada satu hal yang membuat saya sangat suka dengan kota ini. Disana, mereka memakai azaz, “siapa lu, siapa gue”. Barangkali ini terdengar “KEJAM” bagi sebagian orang, tapi saya suka. Bukan karna saya tidak punya perasaan, tidak punya hati, tapi karna saya tidak suka mengurus yang bukan kawasan saya. Tidak ada waktu bagi mereka mengurusi urusan orang lain, apalagi yang tidak mengandung keuntungan untuk mereka. Disana kalian bebas berbuat apa saja, asalkan bertanggung jawab dan tidak melecehkan dan merugikan orang lain. Kebebasannya selalu dikontrol oleh “aturan baku”. Bicara tentang sesuatu tanpa data yang akurat adalah hal yang tidak bisa dipercaya. Ingin bukti? Mari kita ambil contoh pertama. Kalian pasti pernah melihat seseorang yang menatap kalian dari ujung rambut sampai ujung kaki, bukan? Coba saja kalian lakukan hal itu disana, yang ada kalian akan ditampar atau minimal ditanya dengan ketus, “ada apa lu liat-liat? Mau ngajakin ribut? Iya? Ha?”. Mengerikan. Yang kedua, tentang pakaian. Kalau misalkan kalian ketemu orang yang pakaiannya serba hitam, atau serba putih, tidak perlu kalian berkomentar “ini pakaiannya hitam semua? Mau pergi melayat ya, mbak?” atau “ini kenapa semua serba putih, mau praktek dimana?” sekali lagi saya sarankan untuk tidak berkomentar banyak tentang pakaian seseorang. Kalau kalian  berkomentar seperti itu, mereka tidak merasa dipermalukan, yang ada malahan kalian yang akan dianggap norak dan udik. Bagaimana tidak? Orang-orang disana, memang sering menggunakan pakaian serba hitam dimalam hari agar terkesan lebih modis, dan pakaian putih disiang hari, agar panas cahaya matahari dapat terpantul dengan baik. Jadi, orang-orang disana memang tidak doyan ambil pusing untuk urusan pakaian.

Setelah pulang ke Padang, saya kembali menemukan kondisi yang menurut saya sangat abnormal. Kembali lagi saya beradaptasi dengan suara yang keras, tatapan-tatapan aneh, dan mulut-mulut yang serba ingin tau. Tapi bagaimanapun juga, bagaimanapun banyaknya hal-hal seru yang terjadi secara beruntun ditempat itu, saya “harus” lebih mencintai daerah sendiri. Saya mencintai tempat saya yang sekarang, walaupun saya masih belum bisa menerima gaya hidup para penghuninya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

A K S A R A Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea